Kamis, 31 Desember 2009

Presiden Minta Etika Politik Diperhatikan

Sabtu, 26 Desember 2009 | 15:00 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghimbau agar partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan menjaga sikap.

"Bapak presiden menyampaikan agar etika politik diperhatikan. Jadi, memang semuanya kita kembalikan lagi bagaimana cara beretika politik yang benar dan tepat," kata Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha di kediaman pribadi presiden, Puri Cikeas Indah, Sabtu (25/12).

Meski begitu, kata Julian, belum perlu untuk melakukan penyesuaian kontrak-kontrak politik antara partai-partai mitra koalisi dengan presiden. Presiden Yudhoyono memang tengah didera ujian berat pada periode kedua pemerintahannya.

Belum genap 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, dua kasus besar sudah mendera. Pertama ialah perseteruan KPK dan Kepolisan, disusul kemudian mega kasus Bank Century yang menghangat kini. Angket Bank Century terus bergulir dan menjadi bola panas di parlemen.

Dinamika politik pun menghangat akhir-akhir ini. Bahkan, belakangan diindikasikan akibat bergulirnya angket, koalisi partai politik pengusung SBY-Boediono dalam pemilihan presiden lalu sudah mulai rekat.

GUNANTO ES

Indosat Pertanyakan Etika Esia

Rabu, 26 Agustus 2009 - 15:56 wib
Susetyo Dwi Prihadi - Okezone
  
JAKARTA - Sindiran Esia terhadap beberapa operator GSM, menuai kritik dari para operator yang menjadi korban plesetan. Salah satunya Indosat, yang mempertanyakan etika perusahaan Bakrie Telecom tersebut.

"Kalau bicara marketing sebenarnya lumrah dilakukan untuk berpromosi, cara-cara seperti itu sudah biasa dilakukan. Tapi kan, kita mempunyai aspek etika juga," ungkap Division Head Public Relations Indosat Adita Irawati kepada okezone, di Jakarta, Rabu (26/8/2009).

Pada dasarnya, Indosat mahfum kalau tipikal program industri memang demikian adanya. Mereka pun tidak mempermasalahkan cara yang dilakukan Esia tersebut. Walaupun Indosat tetap mempertanyakan etika dari anak usaha Bakrie itu, dalam menjaga persaingan di dunia telekomunikasi.

"Indosat tidak akan melakukan aksi pembalasan, karena itu bukan cara kami. Saat ini yang kita lakukan hanya fokus untuk menjalankan bisnis kita sendiri saja," tandasnya.

Saat disinggung mengenai mantan ikon mereka, Ivan Gunawan dan Titi Kamal, yang beralih ke Esia dan turut serta menyerang Indosat. Ibu dua anak ini tidak mempermasalahkannya lagi, sebab, kedua artis papan atas tersebut memang sudah tidak terikat kontrak sebagai talent di Indosat.

Jadi, menurut Dita, baik Ivan maupun Titi boleh melakukan kerja sama dengan operator manapun. Tetapi sekali lagi, dia mengingatkan perlu adanya etika yang mesti dijalani dalam menjalankan pekerjaannya. Terlebih ini menyangkut masalah dua perusahaan yang saling bersaing.

Seperti diberitakan sebelumnya, Indosat yang populer mengusung Mentari, diubah namanya menjadi Matahari. Sedangkan IM3 dibuat menjadi I'm Sri. Malahan, dalam acara yang bertajuk Esia Bisa Pake Tarif Semaunya dan berlangsung di Wisma Bakrie 1 tersebut, Esia mendatangkan artis Titi Kamal dan Ivan Gunawan yang merupakan mantan ikon Mentari dan IM3. (SDP)

Sumber:


Bank Umum Siap Rebut Pangsa Pasar Mikro

Rabu, 09 Desember 2009 | 13:49 WIB

TEMPO Interaktif, Makassar - Bank – bank umum menyiapkan strategi untuk merebut pangsa pasar penyaluran kredit sektor mikro. Persiapan dilakukan dengan memperluas jejaring bisnis dan menghadirkan unit layanan mikro yang langsung menyentuh debitor.

“Sangat wajar kalau bank umum nasional melirik sektor mikro karena sangat menggiurkan,” kata Pimpinan Wilayah 07 Bank Nasional Indonesia, Sukarno di sela-sela seminar bertema Menjadi Pemimpin Pasar Pembiayaan Mikro di Indonesia yang dilaksanakan di Graha Multi Niaga hari ini.

Graha Multi Niaga merupakan kantor pusat Multi Niaga Grup yang bergerak di bidang Lembaga Keuangan Mikro berbasis syariah. Sukarno menjelaskan kesiapan dunia perbankan merebut pasar mikro karena pertumbuhan kreditnya mencapai 20 persen per tahun.

Sektor mikro, kata Sukarno menggiurkan karena debitur hanya membutuhkan modal kerja kecil dengan pengembalian yang cepat. Sektor yang tumbuh subur sejak krisis moneter 1998 itu, tetap stabil bergerak disebabkan usaha yang dijalankan merupakan kebutuhan masyarakat umum.

Di 2010 yang tinggal 22 hari ini, hampir semua bank umum swasta dan pemerintah akan terjun menggarap layanan mikro secara luas. Bank asing seperti CitiBank di tahun depan juga serius menggarap sektor mikro dengan membuat unit layanan yang bersentuhan langsung ke pasar tradisional.

Dia menjelaskan geliat mikro di 2008 memperlihat kinerja yang pesat dengan kredit maksimal Rp 50 juta. Tingkat pertumbuhan dan pangsa pasar usaha mikro, kata dia, terbilang tinggi mencapai 98,9 persen.

Dia mengatakan komitmen bank umum masuk ke sektor mikro karena menguntungkan, tingkat risiko minimal dan sederhana serta bervariasi. Keseriusan menggarap mikro didasarkan pada pertumbuhan di triwulan ketiga 2009 sebesar 7,4 persen.

Sedangkan kredit kecil mengikuti kinerja mikro yang tumbuh 25,2 persen. Dari sisi sektor ekonomi, ungkap dia, usaha mikro pertanian yang paling pesat sebesar 53,57 persen diikuti perdagangan 27,19 persen.

“Sektor mikro pertumbuhannya tinggi, kualitas kredit sehat dan portfolio menguntungkan,” tutur dia.

Namun dia menolak menyebutkan kegiatan bisnis bank umum telah mengganggu dan mengancam usaha lembaga keuangan mikro, seperti BPR, BPR Syariah, Koperasi, dan Baitul Mal Wat Tamwil (BMT). Menurut dia kegiatan LKM tetap dapat berjalan secara wajar karena metode pembiayaan yang berbeda.

Presiden Direktur Multi Niaga Grup, Mubyl Handaling menyatakan, perluasan jejaring bisnis bank umum yang telah menyentuh sektor mikro adalah tidak etis. Mubyl mengatakan bank umum telah melakukan langkah bisnis keuangan yang tidak bermoral dan beretika.

“Etika bisnis bank umum tidak sangat bagus karena akan mematikan usaha yang dikembangkan teman-teman di BPR,” tutur dia.

Dia menuding bank umum sangat tidak memiliki etika karena telah membajak tenaga kerja dari LKM, termasuk memanfaatkan data base debitur mikro. Menurutnya tindakan bank umum itu tidak dapat dibenarkan karena menimbulkan kekecewaan dari pelaku LKM.

Dia meminta pemerintah harus turun tangan menyelesaikan persaingan yang sudah mengarah tidak sehat. Pemerintah dan DPR harus mengeluarkan aturan soal model pembiayaan mikro bank umum dan LKM.

SULFAEDAR PAY

Sumber:

Pendidikan Antikorupsi Untuk Etika Bisnis yang Sehat

Senin, 03 Desember 2007 | 14:24 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menggelar Konferensi Internasional Asian Forum on Bussiness Education (AFBE) 2007 dengan tema, "Etika Bisnis dan Korupsi di Sektor Publik dan Swasta". Konferensi ini diikuti 75 peserta dari Asia, Afrika, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat.

Wakil Rektor UNJ, Soeprijanto, menyatakan forum ini digelar untuk perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan bisnis. "Di sini peran perguruan tinggi sangat penting. Belum ada kurikulum yang terintegrasi dengan pendidikan korupsi," katanya.

Ia menganggap pendidikan kewarganegaraan yang selama ini diberikan kepada mahasiswa tidak cukup untuk memberantas korupsi.

Wakil Dekan Fakultas Ekonomi UNJ, Dedi Purwana, menyatakan korupsi dan etika bisnis yang tidak baik menyebabkan praktik bisnis yang tidak sehat. "Andai perguruan tinggi atau lembaga pendidikan di bawahnya bisa mendidik perilaku bisnis yang baik, korupsi bisa dicegah sejak dini," katanya.

Ia menambahkan, saat ini di UNJ perilaku pemberantasan korupsi sudah mulai ditanamkan lewat kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. REH ATEMALEM S.

Sumber:

Minggu, 27 Desember 2009

Iklan Politik yang Saling Kecam Melanggar Etika

Kamis, 05 Maret 2009 | 16:26 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Ketua Badan Pengawas Periklanan dari Persatuan Perusahaan Peiklanan Indonesia (PPPI), FX Ridwan Handoyo, mengatakan iklan mengecam dengan menggunakan latar belakang prestasi dan kelemahan pihak lain tidak etis. "Iklan itu akan membingungkan masyarakat," katanya dalam diskusi Kontroversi Etika Iklan di gedung Dewan Pers, Kamis (5/3).

Iklan tersebut muncul dari beberapa pesan partai politik yang saling mengklaim keberhasilan. Bahkan, ada partai yang berlawanan haluan, terang-terangan saling menyerang. Menurut Ridwan, saling menjatuhkan kebijakan pemerintahan oleh partai di luar pemerintah juga tidak tepat.

Sebab, faktanya partai oposisi pun memiliki kader yang duduk di eksekutif seperti gubernur dan bupati atau wali kota. "Cek saja pasti ada bupati dari parai oposisi. Padahal kebijakan pusat pasti sampai ke tingkat daari, yang harus dijalankan bupati tersebut," katanya.

Etika iklan lainnya, menurut Ridwan, menggunakan model profesional yang dibayar, tidak menimbulkan kecemasan, tidak menyebut pembuat iklan, penggunaan data riset harus dijelaskan, dan penggunaan ikon.
Namun, Ridwan mengakui, iklan tidak bisa keluar dari manipulatif. Manipulatif yang dimasud, katanya, bukan pembohongan. "Hanya menyampaikan kebaikan tapi belum tentu benar," katanya.

Menurut Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, iklan politik di media yang saling menjatuhkan tidak melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan catatan, kata dia, iklan itu mengungkap yang sebenarnya. "Bukan sebagai pembohongan," katanya.

Jika terjadi pelanggaran, Ridwan mengatakan, tidak bisa bertindak kepada media dan pengiklan. "Kami hanya akan memberikan sanksi kepada biro iklan yang masuk dalam keanggotaan PPPI," katanya. Lebih dari itu, menjadi kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers.

EKO ARI WIBOWO

Sumber:

http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_serba_serbi/2009/03/05/brk,20090305-163326,id.html

Belajar dari Skandal Akuntansi Amerika Gagalnya Kontrol dan Hilangnya ”Trust” Oleh: A Sonny Keraf

SKANDAL akuntansi yang menimpa perusahaan-perusahaan besar Amerika seperti Enron, WorldCom, Xerox, dan Merck, memperlihatkan dengan sangat jelas betapa lemahnya kontrol oleh lembaga berwenang.

Ditarik secara lebih luas, sebenarnya itu terjadi tidak hanya di sektor swasta, tetapi juga di sektor publik-pemerintah. Demikian pula, skandal serupa tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga di Indonesia dalam kasus bangkrutnya beberapa bank nasional beberapa waktu lalu.

Akuntan publik, penegak hukum, dan lembaga legislatif adalah lembaga-lembaga yang semula diyakini berperan sebagai pengontrol dan penjaga kepentingan publik di bidang terkait. Mereka adalah lembaga-lembaga yang independen dengan komitmen utama melindungi kepentingan publik (keuangan yang sehat, keadilan, dan pelayanan publik yang baik oleh birokrasi pemerintah). Tetapi, skandal-skandal akuntansi di Amerika maupun skandal bisnis dan politik di Tanah Air memperlihatkan bahwa peran itu tidak lagi berfungsi dengan baik.

Skandal-skandal itu memperlihatkan bahwa kontrol oleh lembaga berwenang yang diandaikan dan seharusnya netral, independen, dan punya integritas, telah berubah menjadi urusan transaksi dagang atau ”bisnis” di antara yang mengontrol dan yang dikontrol.

Pergeseran ini menyebabkan persoalan utama yang ingin dicapai dengan adanya kontrol oleh pihak ketiga yang independen, yaitu kepentingan publik dalam bidang terkait, menjadi tenggelam dan bukan lagi menjadi target utama. Yang menjadi target utama adalah kepentingan bisnis dari perusahaan yang dikontrol dan imbalan yang diperoleh lembaga kontrol untuk melakukan manipulasi dengan malah mengorbankan kepentingan publik yang seharusnya dilindungi oleh lembaga kontrol itu.

Dengan kata lain, kontrol yang secara sosiologis merupakan sebuah tuntutan moral, sosial, dan politik dari kepemerintahan modern yang baik, telah beralih fungsi menjadi lahan bisnis baru untuk tawar-menawar saling peras di antara yang mengontrol dan yang dikontrol.

Dalam kerangka etika profesi itu berarti, peran dan fungsi profesi pengontrol (akuntan publik, lembaga legislatif, dan penegak hukum) untuk menjaga dan menjamin kepentingan publik agar tidak dirugikan oleh pihak tertentu (bisnis maupun pemerintah) telah direduksi menjadi sekadar urusan transaksi dagang untuk saling menguntungkan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.

Yang menarik, berfungsinya lembaga kontrol dengan baik, entah itu lembaga kontrol di bidang keuangan maupun lembaga kontrol di bidang hukum dan politik, berkorelasi langsung dengan tingkat trust dalam sebuah masyarakat. Semakin baik kontrol dilaksanakan, semakin tinggi trust terhadap lembaga-lembaga publik, baik di sektor swasta maupun pemerintah serta antara berbagai pihak dalam interaksi sosial.

Dalam kasus Amerika, pertanyaan yang segera mengemuka setelah skandal beruntun tersebut adalah masihkah Amerika dikategorikan sebagai salah satu high trust society sebagaimana diyakini Francis Fukuyama?

Antara etika dan hukum

Menghadapi skandal-skandal akuntansi yang sangat memalukan tersebut di atas, Presiden Bush keluar dengan solusi klasik: memperketat dan meninggikan standar moral pelaku bisnis, khususnya profesi akuntansi. Tetapi, Bush sadar bahwa imbauan moral saja untuk mempertinggi standar moral atau ”memiliki etika bisnis baru” (Kompas, 10/7/02) tidak memadai. Bush tahu betul bahwa standar moral harus diperkuat, didukung, dan dikontrol oleh penegakan hukum yang lebih ketat dengan hukuman yang lebih berat. Dan, hanya melalui itu trust publik bisa dipertahankan.

Di balik sikap Bush itu ada sebuah keyakinan dan asumsi yang sangat kuat bahwa penegakan hukum di Amerika Serikat masih punya kredibilitas dan diandalkan. Dan, itu terbukti dari kasus Enron.

Pada kasus itu terlihat sangat jelas tidak hanya independensi lembaga peradilan. Di situ juga terlihat jelas adanya komitmen dan keberanian moral para juri yang hanya atas dasar sebuah salinan e-mail mendakwa Arthur Andersen telah bersalah dalam kasus tersebut.

Dengan kata lain, Bush percaya bahwa etika dan moral pada para pelaku bisnis saja tidak memadai. Etika dan moral pelaku bisnis (dan tentu saja pejabat pemerintah) harus diimbangi, diperkuat, dan dikontrol oleh penegakan hukum yang fair dan tegas.

Akan tetapi, di sini pun penegakan hukum hanya mungkin bisa berjalan kalau pada tempat pertama para hakim, jaksa, pengacara, dan polisi mempunyai integritas moral yang tinggi.

Maka pertanyaan mengenai apakah Amerika masih termasuk dalam high trust society atau tidak, masih sangat tergantung pada bagaimana pemerintah dan dunia bisnis Amerika berhasil meyakinkan masyarakat Amerika bahwa lembaga bisnis Amerika masih bisa dipercaya.

Itu pertama-tama tergantung pada sejauh mana sektor bisnis Amerika menanggapi secara positif ajakan Presiden Bush untuk meningkatkan etika bisnisnya. Artinya, sejauh mana dunia bisnis Amerika dalam beberapa waktu dekat ini memberi bukti nyata dengan perubahan-perubahan perilaku secara mendasar, dalam kaitan dengan perilaku moralnya dalam bisnis.

Kedua, sangat tergantung pula pada akhirnya sejauh mana lembaga peradilan Amerika mampu memberi bukti nyata bahwa proses hukum akan melibas siapa pun yang terbukti bersalah, apa pun koneksi politiknya. Jadi, pulih tidaknya kepercayaan publik Amerika sangat tergantung pada integritas moral penegak hukum sebagai lembaga kontrol atas kepentingan publik Amerika. Dan, itu harus ditunjukkan dengan bukti nyata dihukumnya para pelaku manipulasi dan penipuan laporan keuangan.

Bergemingnya perdagangan saham di Amerika setelah pidato Bush menunjukkan bahwa publik Amerika masih menunggu bukti nyata, baik dari dunia bisnis dalam merespons ajakan Bush, maupun dari penegak hukum dalam memproses dan menindak para pelaku dan dengan cara itu mengembalikan kepercayaan publik Amerika.

Dengan kata lain, kepercayaan masyarakat Amerika terhadap lembaga bisnisnya, hanya akan dipertahankan dan dipulihkan—dan tidak menjadi melorot atau hilang oleh skandal-skandal akuntansi sekarang ini—kalau lembaga kontrol, khususnya peradilan, bisa tetap mengukuhkan integritasnya dalam melakukan kontrol publik demi mengamankan dan menjamin kepentingan publik, baik di bidang bisnis maupun pelayanan publik oleh pemerintah.

Publik Indonesia

Hal yang sama juga berlalu untuk publik kita di Indonesia. Kepercayaan publik Indonesia terhadap sektor swasta dan pemerintah hanya bisa ditingkatkan (kalau masih ada kepercayaan itu) kalau ada bukti nyata akan adanya perbaikan, khususnya di bidang kontrol.

Pertama, kepercayaan masyarakat kita hanya bisa meningkat kalau bisnis kita benar-benar dijalankan secara profesional dan etis. Yang berarti, tidak saja para pelaku bisnis—sebagaimana diimbau Presiden Bush—semakin meningkatkan standar moral dalam bisnisnya.

Yang juga sangat penting adalah kontrol yang ketat dan jujur atas kinerja bisnis, termasuk oleh lembaga keuangan seperti akuntan publik dengan integritas moral yang tinggi dan teruji secara nyata.

Kedua, kepercayaan masyarakat juga akan terbangun kalau lembaga kontrol kita di bidang penegakan hukum berhenti berputar-putar dan bersandiwara mengusut berbagai perkara, khususnya perkara korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), untuk berani memutuskan perkara-perkara yang ada, bahkan mungkin hanya dengan bukti secuil salinan e-mail sebagaimana dalam kasus Enron.

Dalam dunia hukum memang ada adagium yang menyatakan ”lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang tidak bersalah”. Maka dapat dimengerti kalau hakim harus hati-hati sekali menangani perkara, agar jangan sampai orang tak bersalah dijatuhi hukuman. Tetapi, itu tidak berarti bahwa hukum lalu tidak benar-benar ditegakkan, dan para penegak hukum hanya menghabiskan uang negara untuk berputar-putar tanpa kejelasan. Apalagi dengan dalih adagium tersebut, lalu terjadi KKN untuk membebaskan orang yang jelas-jelas bersalah.

Ketiga, bersamaan dengan itu, lembaga legislatif sebagai lembaga kontrol politik yang konstitusional mewakili rakyat menjalankan fungsinya secara murni dan konsekuen demi melindungi kepentingan publik, dan bukan terkerat dalam transaksi dan politik dagang sapi yang merugikan kepentingan publik dan semakin menghancurkan kepercayaan publik terhadap mereka.

Jika tidak ada pembenahan yang serius dengan komitmen politik yang jelas sebagaimana disuarakan oleh Presiden Bush, bukan hanya kepercayaan rakyat kepada sektor bisnis dan pemerintah semakin hancur. Lebih dari itu, bisnis kita pun akan semakin hancur, dan politik kita pun semakin hancur.

Pada titik itu, yang kita sangat khawatirkan adalah akan terjadi pembangkangan sipil, oleh rakyat yang sudah lelah dan kehilangan trust sama sekali, entah dalam bentuk yang anarkis ataupun bentuk yang sangat santun seperti boikot pemilu, boikot membayar pajak, ataupun boikot-boikot lainnya.

Skandal-skandal akuntansi Amerika yang kini sedang terjadi memang luar biasa besar dan mengejutkan. Tetapi, sangat mungkin publik dan Pemerintah Amerika dengan gesit belajar dari skandal-skandal yang sangat merugikan dan memalukan itu. Mereka lalu bangkit menjadi semakin kuat di bidang bisnis dan politik. (Jangan-jangan juga skandal-skandal itu sengaja dibuka dan diledakkan habis-habisan untuk dipakai sebagai alat membangkitkan bisnis dan ekonomi Amerika). Sementara itu, kita—yang juga telah kenyang dengan berbagai skandal bisnis dan politik—semakin tenggelam dan hancur karena tidak pernah mau belajar dari skandal-skandal itu.

A Sonny Keraf Staf pengajar Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta

Keterangan Artikel
Sumber : Kompas
Tanggal: 31 Jul 02

Sumber:

Duuh! Dokter Membedah Sambil Cengengesan

Rabu, 16 April 2008 | 20:36 WIB




SEJUMLAH dokter dan perawat terlihat cengengesan saat melakukan pembedahan terhadap seorang pasien. Selain tertawa-tawa, mereka pun terlihat bersorak-sorai.

Adegan yang membuat risih kalangan dokter di Filipina itu muncul dalam rupa video berdurasi 3 menit di situs YouTube. Tak jelas siapa yang mem-post video itu. Namun, pada Rabu ini video itu sudah di-delete si pengirim dari situs yang sangat populer tersebut.

Dalam video itu terlihat sekitar 10 orang yang merubung pasien di meja bedah tertawa-tawa. Bahkan di video itu terlihat satu tangan menggenggam ponsel-kamera tengah mengambil foto pembedahan.

Saat seorang dokter mengangkat sebuah kaleng sepanjang 15 cm dari perut si pasien, salah seorang di ruangan itu terdengar berteriak,"Nah, si bayi lahir!" yang sontak disambut sorak-sorai.

Adegan konyol berlanjut. Si dokter kemudian membuka tutup kaleng tersebut dan menyemprotkan isinya ke arah orang-orang di sekitarnya yang diiringi teriak-teriakan suka-cita. Si pasien tentu saja dibiarkan sejenak.

Kegiatan yang terekam itu mengundang berang seorang pasien yang identitasnya belum diungkap. Yang pasti si pasien sudah menunjuk seorang pengacara, Guiller Ceniza, untuk mengajukan gugatan hukum.

Ternyata kegiatan pembedahan itu berlangsung di rumah sakit pemerintah, Vicente Sotto Memorial Medical Center, di Cebu, Filipina. Jurubicara rumah sakit itu, Dr Emmanuel Gines, menjelaskan, pembedahan itu melibatkan lebih dari 10 orang, yang terdiri dari dokter, perawat, staf, dan mahasiswa kedokteran.

Pengambilan gambar video di ruang operasi, katanya, bisa dilakukan untuk kasus-kasus khusus dan atas persetujuan pasien. Kasus itu, katanya, akan diselidiki.

Ketua Ikatan Dokter Filipina Dr Jose Sabili menyatakan akan melakukan penyelidikan jika sudah ada tuntutan resmi. Para dokter yang jelas-jelas melanggar kode etik kedokteran, katanya, akan dikeluarkan dari organisasi dan bisa dicabut izin profesinya. "Aku yakin mereka sudah terang-terangan melanggar etika," katanya setelah mengetahui rekaman tersebut. Kementerian Kesehatan pun tengah menyelidiki kasus itu.

Menurut Guiller Ceniza, kliennya itu perempuan berumur 39 tahun. Si klien menjalani operasi bedah pada 3 Januari 2008. Si klien menelan sebuah kaleng parfum saat berpesta tahun baru semalam suntuk bersama seorang lelaki. Si klien tidak ingat jalan ceritanya bagaimana kaleng parfum itu bisa berada di perutnya. Maklum, ia tengah mabuk berat ketika itu. (AP)

PUT

Sumber:

Etika Saat Bertamu

Selasa, 19 Agustus 2008 | 12:12 WIB



Bertamu merupakan fungsi sosial di masyarakat dan tidak asing lagi bagi semua orang. Namun tidak bisa seseorang datang bertamu begitu saja ke rumah orang yang dianggap dekat sekalipun. Ada hal-hal yang harus diperhatikan bila Anda datang bertamu ke rumah seseorang. 
 
1. Beritahu Lebih Dahulu
Di kota besar seperti Jakarta, di mana banyak penghuni rumah sibuk bekerja, sebaiknya beritahu dulu lewat telepon bila ingin bertamu. Bagi orang yang dikunjungi, ini jadi semacam pemberitahuan, dan dia akan merasa dihargai bila ditanya lebih dulu. Bisa saja pada waktu Anda datang, dia ada acara lain atau tidak mau diganggu tamu. Bagi Anda, akan mendapat kepastian, apakah si penghuni ada di rumah dan siap Anda kunjungi.


2. Tepat Waktu
Bila Anda berjanji datang jam sekian, usahakan tepat waktu. Ini akan memberi kesan yang baik kepada tuan rumah. Dan memudahkan tuan rumah mengatur waktu. Bisa saja ia punya kegiatan yang amat sangat padat, sehingga ketika menyetujui Anda datang pada waktu tertentu, hanya itu waktu yang ia punya untuk Anda.

3. Masuk Bila Sudah Dipersilakan
Bila ternyata rumah yang Anda datangi pagarnya dalam keadaan terkunci, cari bel pintu, dan tekan sekali dua kali, jangan berkali-kali. Bersabarlah sampai ada yang datang membukakan pintu. Kalaupun pintu rumah tak terkunci, jangan sembarangan masuk, ketuklah atau bunyikan bel, dan masuk bila sudah dipersilakan.

4. Ucapkan Salam
Bila bertemu penghuni rumah, ucapkan salam. Sebagai penghormatan kepada pemilik rumah, sekaligus tanda Anda sudah datang. Begitu juga ketika Anda hendak pamit, ucapkan pula salam.

5. Ingat Waktu
Sedekat apa pun Anda dengan penghuni rumah, namanya bertamu harus ingat waktu. Lain soal, bila Anda berniat menginap dan sudah disetujui penghuni rumah. Tapi bila hanya kunjungan biasa, jangan merasa terlalu santai dan berlama-lama. Katakan langsung tujuan Anda datang. Ada tuan rumah yang amat sangat ramah, sehingga kelihatannya senang dengan kunjungan Anda, tapi sebenarnya ia punya kesibukan yang harus dikerjakan. Jelilah melihat situasi.

6. Jangan Pegang Barang
Selama bertamu, jangan memegang barang-barang yang ada di rumah tamu, seperti hiasan, album foto atau majalah, sebelum mendapat izin dari pemilik rumah. Ada tuan rumah yang tak suka barang-barangnya dipegang. Namun, ada juga yang senang pamer. Cara paling jitu, ya bertanya. Atau pancing dengan pujian tentang barangnya. Bila reaksinya ramah, tak masalah. Tapi bila sikapnya enggan, jangan memaksa. Apalagi ini kunjungan pertama dan hubungan Anda dengan tuan rumah tidak dekat.

7. Jaga Sikap dan Omongan
Bersikaplah sopan selama bertamu, terutama bila Anda baru berkenalan. Misalnya, Anda baru pindah ke suatu kompleks dan bertamu ke rumah tetangga untuk berkenalan. Cari topik umum yang aman dibicarakan, sambil memperkenalkan keluarga atau penghuni rumah Anda. Jaga omongan Anda, misalnya, jangan sekali-kali mengritik interior rumahnya, seberantakan apa pun itu.

8. Situasi Rumah
Ada kalanya, situasi rumah yang Anda datangi sedang tak enak. Misalnya, terjadi pertengkaran antara penghuni rumah. Meski pertengkaran sudah usai, tetap akan tercipta suasana tidak enak. Bila ini terjadi, sebaiknya Anda segera pamit. Begitu juga bila ada salah satu anggota keluarga yang sedang sakit dan memerlukan perhatian dari tuan rumah, sebaiknya segera mohon diri.

9. Tamu Lain
Bila ternyata di rumah yang Anda kunjungi ada tamu lain yang datang sebelum Anda, perkenalkan diri Anda kepada tamu tersebut. Dan lihat situasi, apakah kunjungan Anda bisa lama atau tidak. Dan apakah yang hendak Anda bicarakan dengan tuan rumah bisa dikemukakan di depan tamu itu, atau sebaiknya ditunda.

Erika

Sumber:

Etika Komunikasi di Era Digital

Selasa, 9 September 2008 | 16:17 WIB


 Tren gaya hidup digital kini telah menjadi bagian dari hidup banyak orang di dunia. Kepraktisan merupakan ciri utama dari perkembangan teknologi digital saat ini. Kita jadi lebih mudah menghubungi orang lain di mana pun, kapan pun. Fenomena itu ternyata ikut mengubah cara kita berkomunikasi. Kalau dulu undangan pernikahan dikirimkan lewat pos atau kurir, kini lewat email pun tak apa. Ini baru contoh kecil dari revolusi komunikasi.

Baru-baru ini portal Yahoo melakukan survei kepada 2000 orang di Amerika Serikat untuk mengetahui pandangan mereka tentang tren komunikasi digital. Kemudahan berkomunikasi lewat email, SMS, atau fasilitas chatting di dunia maya, menurut situs ini tanpa disadari telah mengubah etika komunikasi sehingga barangkali etika tersebut perlu ditulis ulang.

Hampir 50 persen responden mengatakan mereka tak keberatan bila mendapat undangan pernikahan lewat instant messenger (IM) atau chatting. Mereka juga tak keberatan untuk mengucapkan terima kasih lewat IM. Sementara itu, satu dari sepuluh responden mengatakan memberi kabar kematian lewat fasilitas chatting adalah hal yang bisa diterima. Dalam hal bisnis separuh responden mengaku tak ingat kapan terakhir kali mereka mengirim surat yang ditulis tangan.

Faktor usia ikut memengaruhi pandangan tersebut. Misalnya saja, responden yang berusia di atas 50 tahun mengungkapkan, ucapan selamat ulang tahun minimal harus disampaikan lewat telepon, tidak lewat SMS. Bandingkan dengan responden berusia 18-30 tahun, yang menjawab memberi ucapan selamat ulang tahun lewat SMS pun cukup.

Sementara itu, dalam hal hubungan, sebagian besar memilih untuk melakukan komunikasi secara langsung. Sebanyak 16 persen responden yang berusia di bawah 30 tahun mengaku pernah memutuskan hubungan lewat IM. Lalu, 37 persen responden wanita menjawab semua bentuk usaha menggoda lawan jenis, termasuk lewat IM adalah bagian dari perselingkuhan. Hanya 30 persen pria yang setuju dengan pendapat tersebut.

Bila secara tak sengaja mengirimkan pesan yang kurang sopan lewat email atau IM, hampir 88 persen responden yang berusia di atas 50 tahun menjawab mereka akan minta maaf kepada orang tersebut. Sedangkan 33 persen anak muda mengatakan mereka hanya mengirimkan animasi (emoticon) wajah tersenyum.

Meski survei tersebut dilakukan kepada responden di Amerika, rasanya hasilnya tak akan berbeda jauh bila dilakukan di Indonesia. Bukankah sekarang ini tradisi mengirim kartu Lebaran atau Natal sudah hampir "punah" karena digantikan mudahnya berkirim pesan lewat SMS? Begitu juga dengan mengirimkan undangan lewat email yang lebih praktis.

AN
Sumber : yahoo

Sumber:

Sabtu, 26 Desember 2009

Ketua Bapepam : Etika Bisnis Di Pasar Modal Masih Bermasalah

Rabu, 21 Februari 2007 | 15:34 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Fuad Rahmany mengatakan etika bisnis beberapa perusahaan di pasar modal masih bermasalah. Hal terjadi karena disebabkan perusahaan-perusahaan tersebut belum menyadari konsekuensi menjadi perusahaan terbuka.

"Mereka tidak mengerti bahwa kalau sudah menjadi perusahaan publik, aspek keterbukaan (disclosure) menjadi penting," kata dia usai menghadiri Forum Komite Audit 14 di Hotel Le Meridien Jakarta, Rabu (21/2).

Kendati demikian, Fuad mengatakan pemeriksaan dan pemberian sanksi terhadap perusahaan yang melanggar peraturan keterbukaan memang tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Kasus perdagangan saham berdasarkan informasi orang dalam (insider trading) misalnya, memerlukan waktu lama karena harus melewati proses hukum. "Kami tidak bisa semena-mena menyatakan bersalah. Harus ada saksi dan barang bukti," katanya.

Dalam diskusi tentang tugas dan tanggung jawab komite audit dalam proses good corporate governance/GCG (tata kelola perusahaan) tersebut, Fuad juga menyatakan, inti dari GCG adalah adanya independensi audit internal maupun eksternal. "GCG itu penting sudah menjadi semacam slogan, tapi yang penting adalah komite audit berjalan dengan efektif," kata Fuad.

Fuad menambahkan, salah satu yang membuat GCG sulit diterapkan adalah pembagian tugas dan fungsi tiap-tiap elemen organisasi publik, termasuk pemerintahan, yang belum jelas. "Sering terjadi duplikasi tugas dan fungsi di perusahaan, termasuk pemerintahan, sehingga menjadi tidak efektif," katanya.

Desy Pakpahan

Sumber:

Etika Bisnis dalam Perpektif Islam

Ditulis oleh DR. Achmad Kholiq

Wacana Etika dalam Bisnis
Perbincangan tentang "etika bisnis" di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri) atau oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak) "bertangan kotor".

Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Begitu kuatnya oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau ethics in business. Sekitar dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika Serikat menjadi bahan controversial. Orang boleh saja berbeda pendapat mengenai kondisi moral lingkungan bisnis tertentu dari waktu ke waktu. Tetapi agaknya kontroversi ini bukanya berkembang ke arah yang produktif, tapi malah semakin menjurus ke suasana debat kusir.
Wacana tentang nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi sejak memasauki abad modern, sebut saja Misalnya, Max weber dalam karyanya yang terkenal, The Religion Ethic and the Spirit Capitaism, meneliti tentang bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika. Walaupun di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebaliknya sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of China: Confucianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya weber yang terakhir.
Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya sama sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis), maka temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal terhadap penilaian-penilaian etis.
Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta.

Etika Islam Tentang Bisnis
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui

Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keluru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."

Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."

Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun ( termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam yang didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada falsafah moral Islam yang diharapkan dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur'an sebagaimana Adam Smith mengkaitkan system ekonomi pasar bebas dengan "hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis". Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis, Firman-Nya : "Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi Al-Qur'an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan orang lain dalam sektor ekonomi)
Firman Allah : "janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"

Sekali lagi anggaplah ini sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam keseluruhan.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.
Wallahu 'A'lam.

* Cendekiawan Muslim, Dosen STAIN. Ketua MES, Komisi Dakwah MUI Cirebon, Ketua Dewan Dakwah Korwil Cirebon


Sumber:

JIKA PROFIT SEBAGAI TUAN

Sangat ironis sekali penghargaan bangsa ini akan sebuah tanggung jawab. Seharusnya warga korban luapan lumpur panas Lapindo tak perlu berdemo menuntut kompensasi rumah dan lahannya yang hilang terendam. Itu sudah berupa conditio sine qua non, keharusan mutlak.

Hak masyarakat dirampas oleh kekuasaan ekonomi dan diperburuk oleh perilaku kekuasaan politik. Yang kita saksikan adalah isak tangis dalam demo berhari-hari karena mereka menuntut kejelasan. Sayangnya, ada yang terus berusaha mengelak dari tanggung jawab, enggan mengubah ganti rugi benar-benar sebagai ganti untung.

Pembangunan yang menghancurkan

Kita kehilangan daya empatik. Di tengah situasi sakit seperti ini, masih ada yang berusaha menambah beban sakit. Ganti rugi sebesar apa pun, sanggupkah mengganti kerugian sosial yang dialami masyarakat? Kasus Lapindo menjadi titik puncak cermin pembangunan yang menjadikan manusia hanya sebagai korban, dan profit sebagai tuan.

Ini seharusnya menjadi pelajaran bersama bahwa seperti inilah muka pembangunan kita sepanjang Indonesia merdeka. Dan masa reformasi tidak bisa menaikkan derajat pembangunan dari mengubah situasi gelap menjadi terang, justru menjadi alat efektif untuk menambah gelap suasana.

Pembangunan telah melahirkan deretan angka kemiskinan baru yang sangat menyedihkan. Kritik selalu dianggap sebagai penghalang. Manusia hanya menjadi obyek. Hati nurani harus takluk di atas perintah kekuasaan akal. Dan akal sehat harus dikalahkan olah akal yang sakit. Pembangunan mengalami krisis legitimasi karena meletakkan manusia sebagai obyek.

Jurgen Habermas sudah sejak lama mengingatkan kita mengenai hal ini. Dalam kajiannya yang terkemuka mengenai krisis legitimasi, ia dengan jelas menunjukkan bahwa pembangunan yang mengalami krisis legitimasi akan menyebabkan kemacetan sosial yang membelit masalah pembangunan itu sendiri. Dalam konteks ini sudah harus dianggap final siapa penanggung jawab masalah ini. Tidak perlu lagi saling lempar batu sembunyi tangan.

Dalam bisnis, komitmen moral harus dijunjung tinggi. Tanggung jawab moral pemilik merupakan sebuah keharusan jika ia menjalankan bisnis dalam dedikasi moralitas dan bukan profit semata.

Hancurnya modal sosial

Tragedi lumpur Lapindo merupakan titik puncak dari kegagalan pembangunan yang tidak mengindahkan keberadaan manusia dan lingkungannya. Tragedi ini bisa menjadi contoh utama tentang kegagalan ketika pembangunan hanya berorientasi pada profit daripada keberlanjutan lingkungan. Manusialah akhirnya yang menjadi korban.

Perhitungan yang dilakukan untuk mengukur kerugian selama ini terlalu simplifikatif. Pengusaha dan penguasa menghitung kerugian hanya pada aspek material, berapa rumah yang rusak, berapa luas sawah dan ladang yang hancur dan lainnya.

Sudahkah dihitung berapa banyak tatanan sosial yang hancur akibat tragedi ini? Berapa banyak modal sosial (social capital) yang tak ternilai harganya yang musnah akibat gaya pembangunan seperti ini?

Hilangnya etika bisnis

Bangsa ini harus kembali menyadari bahwa Lapindo adalah segumpal dari gunung es fenomena bisnis yang tidak mengindahkan manusia dalam sosoknya yang utuh. Kita akan menjadi bangsa yang hancur lebur jika tetap bertahan dan merasa benar dengan gaya membangun seperti ini, dan dengan formasi hubungan pengusaha, penguasa, dan masyarakat seperti ini. Kasus Lapindo menjadi cermin bagaimana etika bisnis dibuang dari etos dan perilaku bisnis.

Bisnis memang harus mencari keuntungan, tetapi keuntungan itu bukanlah kerugian bagi yang lain. Jelas rakyat selalu dalam posisi yang dikalahkan dalam segala hal. Ini nyata karena setiap pembicaraan ganti rugi selalu dibuat terkesan berlarut-larut, dan berbagai persyaratan aneh. Dan, sampai kapan kita memiliki pengusaha dan penguasa yang abai terhadap kepentingan publik seperti ini? (Adapted from OPINI KOMPAS, May 24, 2007, an opinion by Benny Susetyo, Pendiri Setara Institute; Sekretaris Eksekutif HAK KWI)
[yap/mpr-05/07]

MALPRAKTEK DITINJAU DARI SEGI ETIKA DAN HUKUM

Thursday, September 24th, 2009

By Yesie Aprillia S.Si.T

A. Pendahuluan
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal di
dalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang dokter? Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum ihwal standar profesi kedokteran yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Sebenarnya kasus malpraktek bukanlah barang baru. Sejak bertahun-tahun yang lalu, kasus ini cukup akrab di Indonesia. Makalah ini akan membahas tentang malpraktek ditinjau dari hukum dan etika.

B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain:
1. Mengetahui tentang pengerian malpraktek
2. Mengetaui tentang etika dalam praktek dan hukum mengenai malpraktek
3. Memberikan wacana tentang kasus-kasus mal praktek yang terjadi di Indonesia supaya dapat terhindar dari malpraktek.

C. Perumusan masalah
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan apakah ada kelalaian atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum pernah diambil.
Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik tersebut. Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa, pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita terutama tenaga medis untuk mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan hukum?.

D. Pembahasan
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya?
Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.
Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.

Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April 2004).
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien.
Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.
Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini angat perlu tidak hanya ntuk melindungi dar kesewenangan tenaga keehatan seprti doter atau bidan, tetapi juga diperlukanuntuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan malpraktek).
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).

Etika Bisnis dalam Corporate Code of Conduct

F. Antonius Alijoyo - Wednesday, December 4 2002

Kolom Corporate Governance bulan lalu mengulas secara singkat Corporate Code of Conduct yang memuat nilai-nilai etika berusaha sebagai salah satu pelaksanaan kaidah-kaidah Good Corporate Governance (GCG). Mengapa perusahaan perlu menerapkan nilai-nilai etika berusaha?

Jawabannya adalah dengan adanya praktek etika berusaha dan kejujuran dalam berusaha dapat menciptakan aset yang langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan nilai perusahaan.

Ini dibuktikan dalam kasus biskuit Arnotts di Australia. Pada suatu saat perusahaan yang memproduksi biskuit Arnotts diberitahukan oleh orang yang hendak memeras perusahaan tersebut bahwa salah satu kemasan produknya berisi biskuit yang beracun. Kemasan beracun tersebut sudah didistribusikan ke seluruh kota di Australia dan tidak ada yang tahu kemasan mana yang mengandung racun kecuali orang yang hendak memeras tersebut. Perusahan produsen biskuit Arnotts memiliki dua pilihan: membayar orang yang hendak memeras tersebut dengan sejumlah uang untuk memberitahukan kemasan mana yang beracun atau menarik seluruh produknya yang telah didistribusikan.

Perusahaan akan memiliki kerugian yang lebih besar apabila menarik seluruh produk yang telah didistribusikan. Namun, dengan mendasarkan pada Corporate Code of Conduct-nya yang menempatkan keselamatan konsumen adalah yang utama perusahaan akhirnya memilih untuk menarik produk-produknya dan memusnahkannya. Perusahaan memang mengalami kerugian pada saat itu. Namun, dengan begitu telah tertanam kepercayaan pada konsumen biskuit Arnotts kalau perusahaan produsen biskuit Arnotts adalah produsen yang menempatkan konsumennya dalam prioritas yang paling tinggi. Ternyata enam bulan kemudian pendapatan perusahaan produsen biskuit Arnotts naik tiga kali lipat!

Contoh yang lainnya adalah kasus Anhauser Busch. Anhauser Busch adalah produsen bir dalam kemasan kaleng yang sangat terkenal di Amerika Serikat dengan merek dagang Budweiser. Kebiasaan pria di Amerika Serikat dalam mengkonsumsi bir Budweiser adalah meremas-remas kaleng minuman hingga rata lalu membuangnya dengan membanting kaleng tersebut. Dampak dari kebiasaan ini menjadikan banyaknya sampah kaleng dengan merek dagang Budweiser. Ini menimbulkan keprihatinan perusahaan yang memproduksinya karena bagaimanapun juga hal ini akan membuat citra perusahaan dan produknya menjadi jelek di mata masyarakat.

Dari sinilah timbul ide produsen Budweiser untuk mendaur-ulang sampah kaleng tersebut untuk kemudian dipergunakan kembali dalam bentuk dan produk yang bermacam-macam. Didirikanlah perusahaan yang khusus menangani proses daur ulang dan memasarkannya kepada masyarakat. Wujud kepedulian produsen Budweiser terhadap kebersihan lingkungan hidup membuahkan hasil di mana bisnis proses daur ulang yang dirintisnya sampai saat ini menyerap ribuan tenaga kerja dan memiliki total aset lebih dari 3 milyar US dollar!

Nilai-nilai etika berusaha seperti yang tercermin dari dua kasus tersebut dianjurkan untuk diinstitusionalisasi dalam suatu Corporate Code of Conduct yang didalamnya dirinci apa yang “boleh” dan “tidak boleh” dlakukan oleh perusahaan dan individu-individu dalam perusahaan. Pedoman tersebut harus menjadi acuan perusahaan dalam menghadapi pelanggannya, para pemasok, kontraktor, pejabat pemerintah dan pihak-pihak lainnya yang mempunyai hubungan dengan perusahaan. Di sini diatur termasuk “budaya amplop”, gift, dan sejenisnya. Bentuk Corporate Code of Conduct yang lebih luas lagi adalah yang mencakup semua hal-hal tersebut ditambah dengan kebijakan perusahaan tentang Corporate Social Responsibility yang mempunyai dampak pada masyarakat umumnya.

Dibuat dan diterapkannya suatu Corporate Code of Conduct adalah sebuah proses terbuka yang dilakukan dengan cara yang transparan dan adil. Hal ini memudahkan konsultasi dengan staf perusahaan bila ada elemen atau bagian dari Corporate Code of Conduct tersebut yang membutuhkan diskusi dan penjelasan lebih jauh. Corporate Code of Conduct tersebut juga akan mengirimkan isyarat yang tepat kepada mereka di dalam dan di luar perusahaan untuk berpegang pada standar pengelolaan tertentu dalam aktifitasnya. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip di dalam Corporate Code of Conduct hendaknya konsisten karena standar ganda hanya akan menggerogoti kredibitas pimpinan, menimbulkan kekacauan dan mengikis keefektifan Corporate Code of Conduct tersebut.

Sebagaimana ungkapan: “berpikirlah menurut kata hati; ungkapkanlah apa yang dipikirkan; lalu kerjakanlah apa yang diungkapkan”, demikian pula halnya dalam hal implementasi Corporate Code of Conduct di suatu perusahaan. Tanpa melihat betapa banyaknya atau betapa sedikitnya, hal yang benar selalu akan benar bila kejujuran dan integritas bertemu dengan keadilan dan transparansi dimana hati, pikiran, ucapan dan perbuatan selalu selaras. Marilah kita memulainya bersamasama di Indonesia.

Sumber:

Etika Bisnis

Jumat, 13 Juni 2008

Oleh: Yusmaliani

Beberapa waktu yang lalu, media memberitakan polisi menemukan gudang yang menyimpan timbunan kedelai. Konsekuensi dari penimbunan adalah distribusi barang tidak lancer dan barang menjadi langka. Kelangkaan akan menyebabkan harga naik karena ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan. Kemudian pada kondisi yang dianggap tepat, pengusaha mulai engeluarkan timbunan barnagnya sehingga keuntungan yang diperolehnya berlipat ganda. Dari sisi pengusaha enyimpan dulu barang dagangan dan menjualnya kembali waktu harga naik merupakan strategi bisnis yang jitu.

Sebaliknya yang terjadi dari sisi konsumen baik konsumen akhir, maupun konsumen antara yang menggunakan barang ini sebagai bahan baku proses produksi. Harga kedelai di pasar melonjak naik yang menyebabkan pengusaha tahu-tempe terperangah dan kesulitan mendapatkan bahan baku. Kasus seperti ini tidak terjadi hanya pada kedelai, bahan pokok yang lainpun pada gilirannya ”dipermainkan”. Utamanya karena permintaan terhadap bahan pokok relatif tidak elastis, sebagaimana juga permintaan terhadap bahan bakar.

Harga-harga yang meningkat membuat masyarakat yang berkekurangan ”menjerit” dan kebingungan bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kasus bunuh diri menjadi lebih sering terdengar. Kemiskinan dan hilang akal kemana akan mengadu dan mendapatkan makan, apalagi dengan adanya tanggungan anak-istri sering membuat orang nekad menghabisi dirinya sendiri. Orang gila akhir-akhir ini menjadi lebih banyak ditemukan dipingir jalan, tertawa sendiri, buka baju seenaknya dan berbagai tingkah laku yang menunjukkan kehilangan akal sehat.

Kata kunci dalam bisnis adalah mendapatkan keuntungan sebesar mungkin, dan dari kacamata ini tentu saja tindakan penimbunan hanyalah salah satu strategi untuk mendapatkan keuntungan. Namun kalau kita bertanya pada hati nurani terdalam, etis tidaknya menimbun bahan makanan yang merupakan hajat hidup orang banyak? Jawabannya pasti tidak, kecuali mata hati kita sudah buta.

Bagaimanapun dasarnya bisnis juga mengenal etika. Isu etika sebenarnya telah lama diketahui dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan oleh kalangan bisnis. Dalam bisnis hal etika dapat dikelompokkan dalam empat tingkat.

Tingkat pertama disebut societal. Pemikirannya adalah menganggap kalangan bisnis sebagai mereka yang berhasil, sehingga masalah etika di jawab dengan mengaplikasikan prinsip kedermawanan untuk membantu mereka yang miskin dan kelompok masayarakat yang kurang beruntung dari pemahaman etika bisnis. Pada tingkat pertama ini saja sudah terbaca bahwa penimbunan bahan kebutuhan pokok menyalahi etika, karena sama sekali tidak membantu kelompok mesyarakat yang kurang beruntung.

Etika bisnis tingkat kedua adalah etika terhadap berbagai kelompok kepentingan yang erada diluar perusahaan (external stakeholder). Tindakan yang etis disini adalah enyangkut bagaimana perusahaan menangani kelompok-kelompok eksternal yang tekena dampak dari keputusan yang mereka ambil. Kewajiban apa yang harus dipenuhi perusahaan terhadap para pemasoknya? Pada masyarakat dimana ia beroperasi? Kepada pemegang saham? Intinya disini adalah pertanyaan berkaitan dengan kebijakan bisnis. Tindakan penimbunan adalah tindakan yang tidak beretika terhadap kelompok msayarakat dimana perusahaan tadi beroperasi. Juga merupakan tindakan yang tidak etis terhadap produsen yang menginginkan agar distribusi barang yang dihasilkannya lancar sampai pada masyarakat.

Etika bisnis tingkat yang ketiga dikenal juga dengan internal policy. Pertanyaannya disini adalah tentang bagaimana perusahaan mengelola hubungan dengan karyawannya. Kontrak kerja seperti apa yang disebut adil? Hak-hak apa yang dimiliki pekerja? Apakah yang disebut pekerjaan yang bermakna? Pada tingkat ini perusahaan memiliki kesempatan untuk responsif secara sosial pada stakeholder internalnya. Dalam kaitan dengan tindakan penimbunan tadi, seyogianya perusahaan menyadari bahwa ia telah bertindak tidak etis terhadap karyawan dengan memberikan mereka pekerjaan yang tidak bermakna bahkan tidak bermoral karena menyakiti dan merugikan pihak lain.

Etika bisnis tingkat keempat adalah adalah isu moral pada tingkat personal. Pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya orang-orang memperlakukan satu sama lain dalam organisasi. Apakah harus jujur satu sama lain apapun konsekuensinya? Dalam tindakan penimbunan, sangat boleh jadi penimbun tidak jujur pada rekan kerja. Setidaknya si penimbun ini telah memberikan pembenaran pada suatu tindakan tidak bermoral yang dilakukanya.

Sebenarnya spiritualitas di tempat kerja telah muncul ke permukaan sejak akhir tahun 1990-an, sebagiannya karena biaya sosial yang besar yang harus ditanggung pimpinan perusahaan karena mengabaikan etika, dan standar moral sehubungan dengan SDM, lingkungan, HAM, ataupun pembangunan masyarakat. Kasus Enron tahun 2000 dan MCI tahun 2001 adalah contoh dimana arogansi dan nilai-nilai tidak bermoral membawa kehancuran. Inti dari spiritulitas bisnis adalah memasukkan kembali unsur-unsur moral dan etika dalam bisnis. Jadi menata dan memperlakukan network dengan santun merupakan salah satu etika yang harus dipegang teguh dalam bisnis.

Berkaitan dengan masalah ini sebuah pertanyaan mendasar harus dijawab, ”bagaimana sebenarnya etika pengusaha kita”? Apakah mereka benar-benar memilikinya? Menimbun barang, memberi zat pewarna yang beracun, menggunakan formalin untuk makanan, mengimpor sampah (ingat: bahan baku asesoris yang diimpor dari kondom bekas), dan berbagai tindakan diluar etika lainnya adalah bagian dari bisnis mereka. Separah inikah hati nurani pengusaha yang melakukannya?.[roel]

*Penulis adalah peneliti senior di LIPI. Tulisan ini pernah di muat di Business News bulan Maret 2008

MEMBANGUN DAN MENGEMBANGKAN ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN

Ditulis oleh Setyanto P. Santosa
Senin, 13 Agustus 2007

(Disampaikan pada acara Seminar Nasional Audit Internal YPIA, Yogyakarta, 12 – 13 April 2006)

.... being ethically literate is not just about giving large sums of money for charity. It is about recognizing and acting on potential ethical
issues before they become legal problem ( Berenheim).

Kalimat pembuka yang disampaikan oleh Ronald E. Berenheim dari New York University (2001) tampaknya sangat relevan dengan topik kita saat ini. Karena semenjak terjadinya kasus Enron (2001) dan Worldcom (2002) perhatian perusahaan-perusahaan besar kelas dunia terhadap upaya melakukan revitalisasi penerapan etika bisnis dalam perusahaan makin berkembang. Hal ini terutama didesak oleh kepentingan para pemegang saham agar Direksi lebih mendasarkan pengelolaan perusahaan pada etika bisnis, karena pemegang saham tidak ingin kehancuran yang terjadi pada Enron dan Worldcom terulang pada perusahaan mereka. Demikian pula stakeholders (pemangku kepentingan) lainnya pun tidak ingin tertipu dan ditipu oleh pengelola perusahaan. Walaupun sebelumnya telah diperingatkan pula dengan kasus Baring dengan aktornya Nicholas Leeson (1995).

Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar “lips-service” belaka. Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.

Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya praktek etika bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen. Demikian pula penyebab terjadinya kasus Pertamina tahun (1975), Bank Duta (1990) adalah serupa.

Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis bersama-sama corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantung pada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan “grey-area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.

Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988) yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut :
• Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession
• Morality is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds
• Law refers to formal codes that permit or forbid certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality.

Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika kita :

1. Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensi nya. Oleh karena itu dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
2. Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuan nya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.

Dari pengelompokan tersebut Cavanagh (1990) memberikan cara menjawab permasalahan etika dengan merangkum dalam 3 bentuk pertanyaan sederhana yakni :

• Utility : Does it optimize the satisfactions of all stakeholders ?
• Rights : Does it respect the rights of the individuals involved ?
• Justice : Is it consistent with the canons oif justice ?

Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Contoh kasus Enron yang selain menhancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :

• Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
• Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
• Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
• Akan meningkatkan keunggulan bersaing.

Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :

• Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
• Memperkuat sistem pengawasan
• Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.

Ketentuan tersebut seharusnya diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah terulangnya kasus Enron dan Worldcom.
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :

• Treat others as you would like them to treat you
• An action is morally wrong for a person if that person uses others, merely as means for advancing his own interests.

Apakah untuk masa depan etika perusahaan ini masih diperlukan ? Bennis, Spreitzer dan Cummings (2001) menjawab “ Young leaders place great value on ethics. Ethical behavior was identified as a key characteristic of the leader of the future and was thought to be sorely lacking in current leaders.”
Dan kasus Enron pun merupakan pukulan berat bagi sekolah-sekolah bisnis karena ternyata etika belum masuk dalam kurikulum misalnya di Harvard Business School. Sebelumnya mahasiswa hanya beranggapan bahwa “ethics as being about not getting caught rather than how to do the right thing in the first place”.

Yogyakarta, 13 April 2006

DAFTAR PUSTAKA
1. Bennis Warren, Spreitzer Gretchen M, Cummings Thomas, The Future of Leadership, Jossey-Bass, San Fransisco (2001).
2. Berenheim Ronald, The Enron Ethics Breakdown, The Conference Board Inc., New York (2001).
3. Cavanagh, G.F. , American Business Values, 3rd Edition, Prentice Hall, New Jersey (1990).
4. Fusaro Peter C., and Miller Ross M., What Went Wrong at Enron, John Willey & Sons, New Jersey, 2002.
5. Von der Embse and Wagley R.A.., Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, SAM Advanced Management Journal (1994).
6. Zhang Peter G., Baring Bankruptcy and Financial Derivatives, World Scientific, Singapore (1995)

Sumber: