Minggu, 27 Desember 2009

Belajar dari Skandal Akuntansi Amerika Gagalnya Kontrol dan Hilangnya ”Trust” Oleh: A Sonny Keraf

SKANDAL akuntansi yang menimpa perusahaan-perusahaan besar Amerika seperti Enron, WorldCom, Xerox, dan Merck, memperlihatkan dengan sangat jelas betapa lemahnya kontrol oleh lembaga berwenang.

Ditarik secara lebih luas, sebenarnya itu terjadi tidak hanya di sektor swasta, tetapi juga di sektor publik-pemerintah. Demikian pula, skandal serupa tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga di Indonesia dalam kasus bangkrutnya beberapa bank nasional beberapa waktu lalu.

Akuntan publik, penegak hukum, dan lembaga legislatif adalah lembaga-lembaga yang semula diyakini berperan sebagai pengontrol dan penjaga kepentingan publik di bidang terkait. Mereka adalah lembaga-lembaga yang independen dengan komitmen utama melindungi kepentingan publik (keuangan yang sehat, keadilan, dan pelayanan publik yang baik oleh birokrasi pemerintah). Tetapi, skandal-skandal akuntansi di Amerika maupun skandal bisnis dan politik di Tanah Air memperlihatkan bahwa peran itu tidak lagi berfungsi dengan baik.

Skandal-skandal itu memperlihatkan bahwa kontrol oleh lembaga berwenang yang diandaikan dan seharusnya netral, independen, dan punya integritas, telah berubah menjadi urusan transaksi dagang atau ”bisnis” di antara yang mengontrol dan yang dikontrol.

Pergeseran ini menyebabkan persoalan utama yang ingin dicapai dengan adanya kontrol oleh pihak ketiga yang independen, yaitu kepentingan publik dalam bidang terkait, menjadi tenggelam dan bukan lagi menjadi target utama. Yang menjadi target utama adalah kepentingan bisnis dari perusahaan yang dikontrol dan imbalan yang diperoleh lembaga kontrol untuk melakukan manipulasi dengan malah mengorbankan kepentingan publik yang seharusnya dilindungi oleh lembaga kontrol itu.

Dengan kata lain, kontrol yang secara sosiologis merupakan sebuah tuntutan moral, sosial, dan politik dari kepemerintahan modern yang baik, telah beralih fungsi menjadi lahan bisnis baru untuk tawar-menawar saling peras di antara yang mengontrol dan yang dikontrol.

Dalam kerangka etika profesi itu berarti, peran dan fungsi profesi pengontrol (akuntan publik, lembaga legislatif, dan penegak hukum) untuk menjaga dan menjamin kepentingan publik agar tidak dirugikan oleh pihak tertentu (bisnis maupun pemerintah) telah direduksi menjadi sekadar urusan transaksi dagang untuk saling menguntungkan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.

Yang menarik, berfungsinya lembaga kontrol dengan baik, entah itu lembaga kontrol di bidang keuangan maupun lembaga kontrol di bidang hukum dan politik, berkorelasi langsung dengan tingkat trust dalam sebuah masyarakat. Semakin baik kontrol dilaksanakan, semakin tinggi trust terhadap lembaga-lembaga publik, baik di sektor swasta maupun pemerintah serta antara berbagai pihak dalam interaksi sosial.

Dalam kasus Amerika, pertanyaan yang segera mengemuka setelah skandal beruntun tersebut adalah masihkah Amerika dikategorikan sebagai salah satu high trust society sebagaimana diyakini Francis Fukuyama?

Antara etika dan hukum

Menghadapi skandal-skandal akuntansi yang sangat memalukan tersebut di atas, Presiden Bush keluar dengan solusi klasik: memperketat dan meninggikan standar moral pelaku bisnis, khususnya profesi akuntansi. Tetapi, Bush sadar bahwa imbauan moral saja untuk mempertinggi standar moral atau ”memiliki etika bisnis baru” (Kompas, 10/7/02) tidak memadai. Bush tahu betul bahwa standar moral harus diperkuat, didukung, dan dikontrol oleh penegakan hukum yang lebih ketat dengan hukuman yang lebih berat. Dan, hanya melalui itu trust publik bisa dipertahankan.

Di balik sikap Bush itu ada sebuah keyakinan dan asumsi yang sangat kuat bahwa penegakan hukum di Amerika Serikat masih punya kredibilitas dan diandalkan. Dan, itu terbukti dari kasus Enron.

Pada kasus itu terlihat sangat jelas tidak hanya independensi lembaga peradilan. Di situ juga terlihat jelas adanya komitmen dan keberanian moral para juri yang hanya atas dasar sebuah salinan e-mail mendakwa Arthur Andersen telah bersalah dalam kasus tersebut.

Dengan kata lain, Bush percaya bahwa etika dan moral pada para pelaku bisnis saja tidak memadai. Etika dan moral pelaku bisnis (dan tentu saja pejabat pemerintah) harus diimbangi, diperkuat, dan dikontrol oleh penegakan hukum yang fair dan tegas.

Akan tetapi, di sini pun penegakan hukum hanya mungkin bisa berjalan kalau pada tempat pertama para hakim, jaksa, pengacara, dan polisi mempunyai integritas moral yang tinggi.

Maka pertanyaan mengenai apakah Amerika masih termasuk dalam high trust society atau tidak, masih sangat tergantung pada bagaimana pemerintah dan dunia bisnis Amerika berhasil meyakinkan masyarakat Amerika bahwa lembaga bisnis Amerika masih bisa dipercaya.

Itu pertama-tama tergantung pada sejauh mana sektor bisnis Amerika menanggapi secara positif ajakan Presiden Bush untuk meningkatkan etika bisnisnya. Artinya, sejauh mana dunia bisnis Amerika dalam beberapa waktu dekat ini memberi bukti nyata dengan perubahan-perubahan perilaku secara mendasar, dalam kaitan dengan perilaku moralnya dalam bisnis.

Kedua, sangat tergantung pula pada akhirnya sejauh mana lembaga peradilan Amerika mampu memberi bukti nyata bahwa proses hukum akan melibas siapa pun yang terbukti bersalah, apa pun koneksi politiknya. Jadi, pulih tidaknya kepercayaan publik Amerika sangat tergantung pada integritas moral penegak hukum sebagai lembaga kontrol atas kepentingan publik Amerika. Dan, itu harus ditunjukkan dengan bukti nyata dihukumnya para pelaku manipulasi dan penipuan laporan keuangan.

Bergemingnya perdagangan saham di Amerika setelah pidato Bush menunjukkan bahwa publik Amerika masih menunggu bukti nyata, baik dari dunia bisnis dalam merespons ajakan Bush, maupun dari penegak hukum dalam memproses dan menindak para pelaku dan dengan cara itu mengembalikan kepercayaan publik Amerika.

Dengan kata lain, kepercayaan masyarakat Amerika terhadap lembaga bisnisnya, hanya akan dipertahankan dan dipulihkan—dan tidak menjadi melorot atau hilang oleh skandal-skandal akuntansi sekarang ini—kalau lembaga kontrol, khususnya peradilan, bisa tetap mengukuhkan integritasnya dalam melakukan kontrol publik demi mengamankan dan menjamin kepentingan publik, baik di bidang bisnis maupun pelayanan publik oleh pemerintah.

Publik Indonesia

Hal yang sama juga berlalu untuk publik kita di Indonesia. Kepercayaan publik Indonesia terhadap sektor swasta dan pemerintah hanya bisa ditingkatkan (kalau masih ada kepercayaan itu) kalau ada bukti nyata akan adanya perbaikan, khususnya di bidang kontrol.

Pertama, kepercayaan masyarakat kita hanya bisa meningkat kalau bisnis kita benar-benar dijalankan secara profesional dan etis. Yang berarti, tidak saja para pelaku bisnis—sebagaimana diimbau Presiden Bush—semakin meningkatkan standar moral dalam bisnisnya.

Yang juga sangat penting adalah kontrol yang ketat dan jujur atas kinerja bisnis, termasuk oleh lembaga keuangan seperti akuntan publik dengan integritas moral yang tinggi dan teruji secara nyata.

Kedua, kepercayaan masyarakat juga akan terbangun kalau lembaga kontrol kita di bidang penegakan hukum berhenti berputar-putar dan bersandiwara mengusut berbagai perkara, khususnya perkara korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), untuk berani memutuskan perkara-perkara yang ada, bahkan mungkin hanya dengan bukti secuil salinan e-mail sebagaimana dalam kasus Enron.

Dalam dunia hukum memang ada adagium yang menyatakan ”lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang tidak bersalah”. Maka dapat dimengerti kalau hakim harus hati-hati sekali menangani perkara, agar jangan sampai orang tak bersalah dijatuhi hukuman. Tetapi, itu tidak berarti bahwa hukum lalu tidak benar-benar ditegakkan, dan para penegak hukum hanya menghabiskan uang negara untuk berputar-putar tanpa kejelasan. Apalagi dengan dalih adagium tersebut, lalu terjadi KKN untuk membebaskan orang yang jelas-jelas bersalah.

Ketiga, bersamaan dengan itu, lembaga legislatif sebagai lembaga kontrol politik yang konstitusional mewakili rakyat menjalankan fungsinya secara murni dan konsekuen demi melindungi kepentingan publik, dan bukan terkerat dalam transaksi dan politik dagang sapi yang merugikan kepentingan publik dan semakin menghancurkan kepercayaan publik terhadap mereka.

Jika tidak ada pembenahan yang serius dengan komitmen politik yang jelas sebagaimana disuarakan oleh Presiden Bush, bukan hanya kepercayaan rakyat kepada sektor bisnis dan pemerintah semakin hancur. Lebih dari itu, bisnis kita pun akan semakin hancur, dan politik kita pun semakin hancur.

Pada titik itu, yang kita sangat khawatirkan adalah akan terjadi pembangkangan sipil, oleh rakyat yang sudah lelah dan kehilangan trust sama sekali, entah dalam bentuk yang anarkis ataupun bentuk yang sangat santun seperti boikot pemilu, boikot membayar pajak, ataupun boikot-boikot lainnya.

Skandal-skandal akuntansi Amerika yang kini sedang terjadi memang luar biasa besar dan mengejutkan. Tetapi, sangat mungkin publik dan Pemerintah Amerika dengan gesit belajar dari skandal-skandal yang sangat merugikan dan memalukan itu. Mereka lalu bangkit menjadi semakin kuat di bidang bisnis dan politik. (Jangan-jangan juga skandal-skandal itu sengaja dibuka dan diledakkan habis-habisan untuk dipakai sebagai alat membangkitkan bisnis dan ekonomi Amerika). Sementara itu, kita—yang juga telah kenyang dengan berbagai skandal bisnis dan politik—semakin tenggelam dan hancur karena tidak pernah mau belajar dari skandal-skandal itu.

A Sonny Keraf Staf pengajar Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta

Keterangan Artikel
Sumber : Kompas
Tanggal: 31 Jul 02

Sumber:

Tidak ada komentar: