Sabtu, 26 Desember 2009

JIKA PROFIT SEBAGAI TUAN

Sangat ironis sekali penghargaan bangsa ini akan sebuah tanggung jawab. Seharusnya warga korban luapan lumpur panas Lapindo tak perlu berdemo menuntut kompensasi rumah dan lahannya yang hilang terendam. Itu sudah berupa conditio sine qua non, keharusan mutlak.

Hak masyarakat dirampas oleh kekuasaan ekonomi dan diperburuk oleh perilaku kekuasaan politik. Yang kita saksikan adalah isak tangis dalam demo berhari-hari karena mereka menuntut kejelasan. Sayangnya, ada yang terus berusaha mengelak dari tanggung jawab, enggan mengubah ganti rugi benar-benar sebagai ganti untung.

Pembangunan yang menghancurkan

Kita kehilangan daya empatik. Di tengah situasi sakit seperti ini, masih ada yang berusaha menambah beban sakit. Ganti rugi sebesar apa pun, sanggupkah mengganti kerugian sosial yang dialami masyarakat? Kasus Lapindo menjadi titik puncak cermin pembangunan yang menjadikan manusia hanya sebagai korban, dan profit sebagai tuan.

Ini seharusnya menjadi pelajaran bersama bahwa seperti inilah muka pembangunan kita sepanjang Indonesia merdeka. Dan masa reformasi tidak bisa menaikkan derajat pembangunan dari mengubah situasi gelap menjadi terang, justru menjadi alat efektif untuk menambah gelap suasana.

Pembangunan telah melahirkan deretan angka kemiskinan baru yang sangat menyedihkan. Kritik selalu dianggap sebagai penghalang. Manusia hanya menjadi obyek. Hati nurani harus takluk di atas perintah kekuasaan akal. Dan akal sehat harus dikalahkan olah akal yang sakit. Pembangunan mengalami krisis legitimasi karena meletakkan manusia sebagai obyek.

Jurgen Habermas sudah sejak lama mengingatkan kita mengenai hal ini. Dalam kajiannya yang terkemuka mengenai krisis legitimasi, ia dengan jelas menunjukkan bahwa pembangunan yang mengalami krisis legitimasi akan menyebabkan kemacetan sosial yang membelit masalah pembangunan itu sendiri. Dalam konteks ini sudah harus dianggap final siapa penanggung jawab masalah ini. Tidak perlu lagi saling lempar batu sembunyi tangan.

Dalam bisnis, komitmen moral harus dijunjung tinggi. Tanggung jawab moral pemilik merupakan sebuah keharusan jika ia menjalankan bisnis dalam dedikasi moralitas dan bukan profit semata.

Hancurnya modal sosial

Tragedi lumpur Lapindo merupakan titik puncak dari kegagalan pembangunan yang tidak mengindahkan keberadaan manusia dan lingkungannya. Tragedi ini bisa menjadi contoh utama tentang kegagalan ketika pembangunan hanya berorientasi pada profit daripada keberlanjutan lingkungan. Manusialah akhirnya yang menjadi korban.

Perhitungan yang dilakukan untuk mengukur kerugian selama ini terlalu simplifikatif. Pengusaha dan penguasa menghitung kerugian hanya pada aspek material, berapa rumah yang rusak, berapa luas sawah dan ladang yang hancur dan lainnya.

Sudahkah dihitung berapa banyak tatanan sosial yang hancur akibat tragedi ini? Berapa banyak modal sosial (social capital) yang tak ternilai harganya yang musnah akibat gaya pembangunan seperti ini?

Hilangnya etika bisnis

Bangsa ini harus kembali menyadari bahwa Lapindo adalah segumpal dari gunung es fenomena bisnis yang tidak mengindahkan manusia dalam sosoknya yang utuh. Kita akan menjadi bangsa yang hancur lebur jika tetap bertahan dan merasa benar dengan gaya membangun seperti ini, dan dengan formasi hubungan pengusaha, penguasa, dan masyarakat seperti ini. Kasus Lapindo menjadi cermin bagaimana etika bisnis dibuang dari etos dan perilaku bisnis.

Bisnis memang harus mencari keuntungan, tetapi keuntungan itu bukanlah kerugian bagi yang lain. Jelas rakyat selalu dalam posisi yang dikalahkan dalam segala hal. Ini nyata karena setiap pembicaraan ganti rugi selalu dibuat terkesan berlarut-larut, dan berbagai persyaratan aneh. Dan, sampai kapan kita memiliki pengusaha dan penguasa yang abai terhadap kepentingan publik seperti ini? (Adapted from OPINI KOMPAS, May 24, 2007, an opinion by Benny Susetyo, Pendiri Setara Institute; Sekretaris Eksekutif HAK KWI)
[yap/mpr-05/07]

Tidak ada komentar: