Jumat, 01 Januari 2010

Pelajaran dari Kasus Prita

Rabu, 10 Juni 2009 | 09:23 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Konflik merupakan peristiwa yang biasa terjadi di setiap organisasi atau perorangan. Konflik muncul karena organisasi terdiri atas sekelompok orang yang berinteraksi secara internal dan eksternal. Sementara itu, bagi perorangan, konflik muncul karena orang harus berinteraksi dengan orang lain atau dengan organisasi. Di pihak lain, orang-seorang atau organisasi perlu membangun dan menjaga kredibilitas dan reputasi sebagai bagian penting dalam interaksi dengan pihak lain. Bagaimana mengelola konflik, memenangi persaingan dengan tetap menjaga reputasi, membutuhkan kiat tersendiri. Beberapa kasus cenderung mengambil satu sisi saja, yakni memenangi konflik dengan mengabaikan kredibilitas dan reputasi.

Konflik pada dasarnya adalah pertentangan kebutuhan, perbedaan nilai, atau tarik-menarik kepentingan yang bisa bersifat kelompok atau individual. Dalam bidang politik, konflik yang tajam bisa mewujud dalam bentuk pembangkangan, revolusi, dan perang. Kepentingan yang berbeda di dalam tubuh partai politik bisa menimbulkan keretakan politik, perpecahan internal, dan pembangkangan kader politik atau kelompok kader politik. Pada era pemilihan presiden seperti sekarang, kita menyaksikan perbedaan kepentingan yang ditandai dengan pembangkangan atau perselingkuhan politik. Semua yang terjadi telah mengabaikan kredibilitas dan reputasi, baik untuk individu tersebut maupun partai politiknya.

Dalam konteks sosial, untuk memenangi konflik, banyak terjadi penggunaan kekerasan dan pemanfaatan kekuasaan untuk memenangi konflik tersebut. Dalam beberapa hal telah terjadi pemanfaatan kekuasaan, penaklukan hukum dan keadilan, serta pelayanan publik untuk memenangi sebuah konflik. Sama dengan yang terjadi di bidang politik, pada umumnya semua pihak yang terlibat dalam konflik mengabaikan aspek kredibilitas dan reputasi.

Konflik sering kali berlangsung tidak secara independen. Sebuah konflik, apa pun sifatnya, bisa menyeret orang lain atau pihak lain serta dampak yang ditimbulkan akan meluas dan melibatkan orang-seorang yang tidak terkait sama sekali tapi memiliki kepentingan yang sama. Bahkan kelompok ini melibatkan diri secara emosi dengan salah satu pihak dalam konflik tersebut. Publikasi konflik yang luas malah mengakibatkan eskalasi dan akan membangun polarisasi pendapat, kepentingan, nilai, dan emosi senasib atau karena perasaan "me too".

Peran media
Dalam beberapa kasus, benturan kepentingan, perbedaan nilai, perbedaan pandangan, dan diskomunikasi makin memperuncing konflik. Tak bisa dimungkiri bahwa dalam situasi seperti itu, medium paling ampuh dalam penyebaran informasi tentang konflik adalah media. Bagi media, konflik adalah ramuan utama untuk membuat berita. Syukur kalau konflik tersebut memiliki sisi-sisi emosi, kemanusiaan, dan kontroversi serta melibatkan emosi orang banyak!
Media cetak, karena sifatnya yang harus terbit secara teratur pada waktu tertentu, memiliki kelebihan waktu untuk bisa mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, kemudian mempublikasikan informasi tentang konflik tersebut dalam bentuk lebih investigatif, lebih komprehensif dengan berbagai sisi. Sementara itu, radio dan televisi, dengan karakternya yang bisa menampilkan stop press atau breaking news kapan saja, memanfaatkan waktu untuk sesegera mungkin menyebarkan informasi, terutama dengan ramuan konflik yang kontroversial serta mengaduk-aduk emosi publik.

Seiring dengan perkembangan pesat teknologi informasi, media baru, seperti SMS, e-mail, blog, Facebook, Twitter, dan Yahoo Messenger, ikut pula meramaikan penyebaran informasi tentang konflik. Media jenis ini menyebarkan informasi jauh lebih cepat dan tanpa batas melebihi media cetak, radio, dan televisi. Kasus Manohara Odelia Pinot dengan cepat bisa dipantau dan diikuti di seluruh dunia pada detik yang sama dengan ketika informasi tersebut ditulis. Kasus pendudukan hotel di Mumbai, India, menyebar cepat melalui Twitter.
Konflik memang informasi yang menggiurkan untuk disebar. Konflik juga sangat terbuka untuk dibumbui dengan berbagai informasi spekulatif, gosip, hingga yang mengada-ada. Penyebar informasi konflik bahkan merasa dialah yang terdepan menyebarkan informasi tentang konflik tersebut.

Proses hukumSesungguhnya sebagian besar pihak yang terlibat dalam konflik paham bahwa solusi terbaik keluar dari konflik adalah win-win dibanding dua pilihan lain, yaitu win-lose, apalagi lose-lose. Tapi desakan nafsu untuk memenangi konflik sering kali lebih kuat mengalahkan kematangan kalkulasi untuk mengatasi konflik dengan jalan keluar win-win. Lebih jauh, desakan nafsu memenangi konflik meninabobokan pihak yang terlibat dalam konflik dengan mengabaikan kredibilitas dan reputasi.

Beberapa faktor mendukung nafsu untuk memenangi konflik dengan cara menang atau win-lose. Salah satu alasan mengambil langkah ini adalah anggapan bahwa menang dalam konflik berarti menang segalanya karena berhasil menjaga, mempertahankan, atau menguasai kepentingan yang diperjuangkan. Untuk mencapai tekad itu, berbagai manuver harus ditempuh untuk memenangi konflik, termasuk menghalalkan penggunaan kekerasan, penistaan etika, pemanfaatan kekuasaan, dan pengingkaran atau pembelokan hukum demi kemenangan.

Kemenangan secara hukum memang penting karena bisa jadi landasan legalistik. Namun, orang melupakan bahwa ada aspek penting lain yang harus mereka perhitungkan dalam mencari jalan keluar dari konflik: menjaga kredibilitas dan reputasi. Pemaksaan untuk menang, penistaan etika, dan pembelokan hukum merupakan hal-hal yang merusak kredibilitas dan reputasi. Siapa pun bisa mengabaikan dan meremehkan pentingnya menjaga kredibilitas dan reputasi. Tapi dunia sudah berubah dan makin menyadari bahwa kredibilitas dan reputasi merupakan bagian integral dalam berinteraksi dengan kelompok lain.

Kemenangan secara hukum tidak berarti terjaganya kredibilitas dan reputasi. Apalagi jika hukum dibelokkan untuk menang. Para penegak hukum tidak akan pernah mampu menegakkan hukum jika mereka sendiri melanggarnya! Publik kadang memiliki ingatan pendek tentang konflik karena banyaknya kasus yang muncul. Mereka segera lupa berbagai tindakan tanpa etika yang dilakukan sebuah institusi atau perorangan akibat terlalu banyaknya informasi yang harus mereka terima. Tapi harus diingat bahwa catatan perilaku organisasi atau perseorangan tetap tersimpan. Bahkan, dengan kemajuan teknologi informasi, seluruh catatan tentang perilaku dan etika lembaga atau perorangan tetap tersedia untuk dikutip di masa depan. Ini memungkinkan penggalian data di masa datang tentang orang-seorang atau suatu lembaga. Dan ini akan menjadi rekam jejak penting di masa depan tentang kredibilitas dan reputasi.

Halim Mahfudz, CEO/pendiri Halma-Strategic, perusahaan public relations

Tidak ada komentar: