Jumat, 01 Januari 2010

ETIKA BISNIS PANCASILA

[Artikel - Th. I - No. 2 - April 2002]

Mubyarto


ETIKA BISNIS PANCASILA

I.       People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed to prevent such meeting by any law which either could be executed or would be consistent with liberty and  justice. But though th law cannot hinder people of the same trade from sometimes assembling together it ought to do nothing to facilitate such assemblies, much less to render them necessary. (Dikutip dalam Mubyarto, PERPIIS, h. 57)

 II.     Jika ada pendapat bahwa (ilmu) ekonomi tidak mengajarkan keserakahan sedangkan (ilmu atau praktek) bisnis  memang serakah, maka memang yang relevan adalah etika bisnis bukan etika ekonomi atau ekonomi moral. Namun jelas Adam Smith mengajarkan adanya homo ekonomikus atau homo socius atau homo religiousus. Artinya manusia memang mengandung pada dirinya dua sifat yang nampak bertentangan, yaitu sifat-sifat selfish-egois dan sifat-sifat social-symphathetic. Inilah sifat-sifat manusia yang masing-masing digambarkan dalam buku Adam Smith Wealth of Nations (1776) dan The Theory of Moral Sentiments.

 III.    Pengertian social economics atau economic sociology (Max Weber) adalah cara lain untuk menggambarkan sifat-sifat sosial manusia. Artinya manusia pada dasarnya suka hidup bermasyarakat dan saling membutuhkan yang dalam bahasa Jerman dikenal dalam konsep Gemeinschaft (paguyuban) yang dilawankan dengan konsep Gesellschaft (patembayan). Dalam dunia bisnis Jawa ada istilah “Tuna Satak Bati Sanak” yang artinya orang dapat mentoleransi kerugian uang dengan kompensasi bertambahnya persaudaraan (brotherhood).

 IV.    Dalam dunia perbankan di Indonesia sejak krisis moneter (krismon) tahun 1997, yang belum kunjung teratasi sampai sekarang, terlihat telah berkembang sistem dan praktek perbankan kapitalistik yang tidak etik karena menekankan pada pengejaran untung sebesar-besarnya. Dalam perbankan etik harus dihilangkan atau dikurangi nafsu mengejar untung tanpa batas, tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain. Perbankan etik di Indonesia harus menuju pada upaya-upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Perbankan Syariah adalah perbankan yang demikian yang dewasa ini mulai digalakkan.

 V.     The outstanding faults of the economic society in which we live are its failure to provide for full employment and its arbitrary and equitable distribution of welath and income… I believe that there is social and psychological justification for significant inequalities of income and wealth but not for such large disparities as exist today (JM Keynes, 1936).

         Meskipun pernah diantara kita menolak tuduhan Indonesia telah melaksanakan sistem ekonomi Kapitalisme yang cacatnya disebutkan Keynes di atas, tetapi sekarang lebih banyak orang terang-terangan menerima sistem ekonomi tersebut karena dianggap “tak terelakkan” dan karena sejak 1991 jelas kapitalisme telah terbukti memenangkan persaingan dengan sosialisme.

 VI.     I shall argue that these perceptions are justified, that current capitalism is indeed morally deficient. This book is absolut whether, without abandoning capitalism, these serious deficiencies can be overcome (DW Hasslet, Capitalism with Morality, 1994).

         Kapitalisme yang “bermoral” adalah yang kaum buruh (dan petani untuk Indonesia) ikut serta aktif dalam “manajemen produksi”, yang serius mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan, dan jelas-jelas berusaha meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan.

         It is not capitalism per se that is immoral, but current capitalism. Capitalism with morality is possible… a capitalism without extreme inequalities of wealth and opportunity, a capitalism without alienated workers, a capital with morality. (Hasslet, h. 264).

 VII.   Jika Indonesia pernah menyambut baik sistem sosialisme religius yaitu sistem sosialisme yang aturan-aturan mainnya banyak mengacu pada ajaran-ajaran agama, maka di pihak lain ada yang menganggap lebih tepat menerapkan sistem Kapitalisme Pancasila. Pada hemat kami Pancasila berhak menjadi ideologi, pegangan yang secara penuh menggariskan aturan main, kebijakan dan program-program pembangunan nasional baik dalam bidang ekonomi maupun sosial.
 VIII.  Etika Bisnis Indonesia yang dapat kita sebut Etika Bisnis Pancasila mengacu pada setiap sila atau perasan-perasannya. Menurut Bung Karno, pada pidato kelahiran Pancasila 1 Juni 1945, Pancasila dapat diperas menjadi Sila Tunggal, yaitu Gotong Royong, atau Tri Sila sbb: 
         1.       Socio-nasionalisme (Kebangsaan dan Peri Kemanusiaan)
2.      
Socio-demokrasi
(Demokrasi/ Kerakyatan, dan Kesejahteraan Sosial); dan
3.       Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa


Syarat mutlak dapat diwujudkannya Etika Bisnis Pancasila adalah mengakui terlebih dahulu Pancasila sebagai ideologi bangsa, sehingga asas-asasnya dapat menjadi pedoman perilaku setiap individu dalam kehidupan ekonomi dan bisnis sehari-hari. Baru sesudah asas-asas Pancasila benar-benar dijadikan pedoman etika bisnis, maka praktek-praktek bisnis dapat dinilai sejalan atau tidak dengan pedoman moral sistem Ekonomi Pancasila.




Prof. Dr. Mubyarto :
Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika


Makalah disampaikan dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Etika Bisnis dan Ekonomi Moral, Jakarta, 5 Maret 2002.






Tidak ada komentar: