Kamis, 19 November 2009

Etika beriklan masih diabaikan

Rabu, 03/09/2008

JAKARTA: Pelanggaran etika beriklan yang paling banyak dilakukan adalah menggunakan pernyataan superlatif untuk produk yang diiklankan, tanpa data pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.

FX. Ridwan Handoyo, Ketua Badan Pengawas Periklanan, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), mengatakan pernyataan superlatif seperti terbagus dan terhebat, tanpa didukung bukti, dapat dikategorikan sebagai tindakan membohongi konsumen.

Berdasarkan data Badan Pengawas Periklanan PPPI dalam periode awal 2006 hingga akhir Januari 2008, pelanggaran etika beriklan seperti itu merupakan yang paling banyak dilakukan oleh para pengiklan.

Badan Pengawas PPPI menetapkan 77 kasus atau 38% dari 203 kasus pelanggaran yang terjadi selama kurun waktu itu, melanggar Etika Pariwara Indonesia (EPI) Bab III.A.1.2.2 yang menyebutkan iklan tidak boleh menggunakan kata superlatif seperti paling atau nomor satu, tanpa menjelaskan keunggulan yang dimaksud.

Klaim itu juga harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber autentik.

Total iklan yang dipantau Badan Pengawas PPPI dalam periode itu sebanyak 197 produk atau materi iklan. Dalam satu produk atau materi iklan itu ada yang tercatat melakukan lebih dari satu kasus pelanggaran.

"Itu kan artinya suatu janji kepada konsumen bahwa produknya memang yang paling bagus. Nah, janji itu kan tidak boleh bohong. Kebanyakan, klaim itu tidak didukung bukti. Cuma omong doang," kata Ridwan kepada Bisnis, baru-baru ini.

Konsumen, ujarnya, dapat menuntut pengiklan yang tidak dapat membuktikan klaim atas produk yang mereka iklankan.

"Namun, memang kebanyakan masyarakat belum aware [menyadari], sehingga belum ada konsumen yang menuntut," katanya.

Namun, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan pihaknya cukup banyak menerima keluhan dari masyarakat atas klaim pengiklan yang superlatif tersebut.

Keluhan tersebut terutama untuk pengiklan produk consumer goods seperti kosmetik. "Pengaduan sudah cukup banyak. Konsumen agaknya sudah jengah dengan klaim-klaim seperti itu. Namun, memang belum ada yang sampai ke pengadilan," kata Tulus.

Sanksi

Mengacu pada Undang-Undang Konsumen, pengiklan yang tidak bisa membuktikan klaim dalam iklannya, bisa dikenai sanksi pidana penjara dua tahun dan sanksi denda Rp2 miliar.

Sayangnya, menurut Tulus, hingga saat ini belum ada konsumen yang meneruskan pengaduan mereka hingga ke pengadilan. Polisi atau pihak berwenang lainnya juga belum memberikan perhatian serius kepada masalah ini.

"Polisi seharusnya bisa menyidik. Ini kan delik biasa, bukan delik aduan. Jadi, tanpa pengaduan pun, ini bisa diusut," tambahnya.

Hingga saat ini, YLKI hanya mengirimkan surat kepada pengiklan untuk mengganti iklan mereka dan menyampaikan keluhan masyarakat kepada PPPI.

Namun, menurut Ridwan, sanksi paling berat dari PPPI juga hanya berupa mengeluarkan pembuat iklan dari keanggotaan PPPI, apabila tidak memberikan respons positif atas teguran yang diberikan asosiasi itu.

"Tetapi sejauh ini, kebanyakan [pengiklan] menanggapi dengan positif [teguran PPPI], dengan merevisi iklannya," kata Ridwan.

Dia menyebutkan sebagian besar pelanggaran itu disebabkan oleh minimnya pengetahuan pelaku industri periklanan terhadap etika-etika beriklan. (yeni.simanjuntak@bisnis.co.id)

Oleh Yeni H. Simanjuntak
Bisnis Indonesia

Sumber:
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/jasa-transportasi/1id77160.html

Tidak ada komentar: