Edition No. 4/THN XLII, April 2007 | |
Warta Utama | |
ETIKA BISNIS, SAAT MORAL JADI KEBUTUHAN |
Deputi Bidang Pencegahan-KPK Waluyo bercerita di depan peserta workshop Etika Bisnis di Pertamina. Banyak perusahaan yang umurnya puluhan tahun bahkan ratusan tahun dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, dan pegawainya pun bangga karenanya, pelaksanaan etika bisnis dan Good Corporate Governancenya menjadi salah satu sustainable competitive advantage. Waluyo menyebut Shell, BP, GE, Johnson and Johnson, sebagai di antara perusahaan yang dimaksud.
Sebaliknya perusahaan-perusahaan besar banyak yang bangkrut atau sekadar ‘mati nggak, hidup pun ogah’ karena penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan etika bisnis tidak konsisten.
“Lemahnya komitmen dan kepemimpinan dan tidak dipakainya instrumen di dalam penerapan etika bisnis,” kata Waluyo.
“Lemahnya komitmen dan kepemimpinan dan tidak dipakainya instrumen di dalam penerapan etika bisnis,” kata Waluyo.
Kelemahan lain adalah dalam proses internalisasi code of conduct ke seluruh pegawai. Dalam bahasa Waluyo mereka mem-print code of conduct, lalu menempelkan di dinding (post), “Dan terakhir adalah pray, berdoa, ‘mudahmudahan pegawai saya membacanya,” Waluyo setengah bercanda.
Kesalahan lain adalah adanya intervensi dari beberapa pihak. “Nantinya seluruh BUMN itu free for doing leadership tanpa harus ada intervensi,” katanya.
Kalau seluruh BUMN bergerak ke arah corruption free menurut Waluyo sangat powerful karena ada 137 BUMN.
Waluyo memberikan batasan soal intervensi, bahwa sebuah korporasi akan maju dengan baik manakala dalam pengambilan keputusan tidak ada afiliasi yang meng-gantungi diri¬nya. “Saya melakukan ini for the best of the company,” ujar Waluyo mengumpamakan ujaran CEO BUMN.
Intervensi yang dimaksud tidak berkaitan dengan pihak penginter¬vensi dalam kapasitas pemegang saham. “Intervensi itu adalah intervensi yang sifatnya BOD tidak independen karena ada keterikatan power yang lain,” jelas Waluyo.
Apa kaitan satu sama lain antara korupsi, dilema etika, etika bisnis, dan Good Corporate Governance (GCG)?
Kesalahan lain adalah adanya intervensi dari beberapa pihak. “Nantinya seluruh BUMN itu free for doing leadership tanpa harus ada intervensi,” katanya.
Kalau seluruh BUMN bergerak ke arah corruption free menurut Waluyo sangat powerful karena ada 137 BUMN.
Waluyo memberikan batasan soal intervensi, bahwa sebuah korporasi akan maju dengan baik manakala dalam pengambilan keputusan tidak ada afiliasi yang meng-gantungi diri¬nya. “Saya melakukan ini for the best of the company,” ujar Waluyo mengumpamakan ujaran CEO BUMN.
Intervensi yang dimaksud tidak berkaitan dengan pihak penginter¬vensi dalam kapasitas pemegang saham. “Intervensi itu adalah intervensi yang sifatnya BOD tidak independen karena ada keterikatan power yang lain,” jelas Waluyo.
Apa kaitan satu sama lain antara korupsi, dilema etika, etika bisnis, dan Good Corporate Governance (GCG)?
Korupsi itu busuk; palsu; suap. Penyuapan; pemalsuan. Ini kalau menurut Kamus Bahasa Indonesia (1991). Kalau Kamus Hukum (2002) menyebutkan pengertian korpusi itu sebagai buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi.
Diartikan juga di Kamus Hukum itu bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Boleh cari definisi korupsi di The Lexion Webster Dictionary (1978). Di situ ada pengertian kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian.
Kalau Indonesia belakangan dikenal sebagai negara korup terkemuka di Asia, selain Filipina. Istilah korupsi itu berasal dari kata corruptio atau corruptus. Tentu bukan bahasa Indonesia atau bahasa Filipina. Atau bahasa Hongkong dan Singapura yang terkenal sarang korupsi sektor swasta. Corruptio adalah bahasa Latin yang berasal dari kata corrumpere, terakhir ini kata Latin yang lebih tua.
Bahasa Eropa ketiban tetesan bahasa tersebut. Lahirlan kata corruption, corrupt di Inggris; corruption (Perancis); corruptie, korruptie (Be-landa). Dari bahasa Belanda inilah konon kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.
Dalam bahasa hukum kita, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (UU No. 20 Tahun 2001).
Banyak item-item yang termasuk tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Tetapi agar tidak bingung mengategorikannya, maka agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah:
(1) secara melawan hukum;
(2) memperkaya diri sendiri/orang lain;
(3) “dapat” merugikan keuangan/perekonomian negara.
Korupsi menurut buku kecil yang ditertibkan KPK Mengenali & Memberantas Korupsi sebenarnya tidak beda jauh dengan pencurian dan penggelapan. Hanya saja unsur-unsur pembentuknya lebih lengkap.
Kalau diumpamakan suatu wilayah, korupsi adalah wilayah hitam, yaitu wilayah yang secara etika jelas-jelas tidak diterima. Berhadapan dengan wilayah hitam adalah wilayah putih, yaitu wilayah yang secara etika dapat diterima.
Nah, di antara wilayah hitam dan putih itu ada wilayah abu-abu. Di situlah dilema etika berada. Korupsi, jelas tidak ada dilemanya, lha wong sudah jelas-jelas berstatus haram. Hukumnya jelas dan gampang dibedakan. Perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.
Tingkatan korupsi itu lebih tinggi daripada sekadar tindakan mencuri dan penggelapan. Kalau pencurian -- mengutip buku KPK yang mengutip Pasal 362 KUHP -- adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/hak yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.
Sedangkan penggelapan -- masih menurut buku KPK (dikutip dari Pasal 372 KUHP) -- adalah pencurian barang/hak yang dipercaya-kan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.
Lalu wilayah abu-abu?
Kalau dalam suatu operasi perusahaan ditemukan praktek-praktek yang ‘rasa-rasanya’ tidak diterima etika, tetapi ‘kok menentukan kelancaran operasi perusahaan,’ itulah dilema etika.
Kalau tetap dilakukan ya itu sudah pelanggaran, seperti suap, uang pelicin, pungli, dan lain-lain. Tapi kalau tidak dilakukan operasi perusahaan bisa-bisa terganggu serius.
Itu daerah abu-abu!
Diartikan juga di Kamus Hukum itu bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Boleh cari definisi korupsi di The Lexion Webster Dictionary (1978). Di situ ada pengertian kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian.
Kalau Indonesia belakangan dikenal sebagai negara korup terkemuka di Asia, selain Filipina. Istilah korupsi itu berasal dari kata corruptio atau corruptus. Tentu bukan bahasa Indonesia atau bahasa Filipina. Atau bahasa Hongkong dan Singapura yang terkenal sarang korupsi sektor swasta. Corruptio adalah bahasa Latin yang berasal dari kata corrumpere, terakhir ini kata Latin yang lebih tua.
Bahasa Eropa ketiban tetesan bahasa tersebut. Lahirlan kata corruption, corrupt di Inggris; corruption (Perancis); corruptie, korruptie (Be-landa). Dari bahasa Belanda inilah konon kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.
Dalam bahasa hukum kita, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (UU No. 20 Tahun 2001).
Banyak item-item yang termasuk tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Tetapi agar tidak bingung mengategorikannya, maka agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah:
(1) secara melawan hukum;
(2) memperkaya diri sendiri/orang lain;
(3) “dapat” merugikan keuangan/perekonomian negara.
Korupsi menurut buku kecil yang ditertibkan KPK Mengenali & Memberantas Korupsi sebenarnya tidak beda jauh dengan pencurian dan penggelapan. Hanya saja unsur-unsur pembentuknya lebih lengkap.
Kalau diumpamakan suatu wilayah, korupsi adalah wilayah hitam, yaitu wilayah yang secara etika jelas-jelas tidak diterima. Berhadapan dengan wilayah hitam adalah wilayah putih, yaitu wilayah yang secara etika dapat diterima.
Nah, di antara wilayah hitam dan putih itu ada wilayah abu-abu. Di situlah dilema etika berada. Korupsi, jelas tidak ada dilemanya, lha wong sudah jelas-jelas berstatus haram. Hukumnya jelas dan gampang dibedakan. Perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.
Tingkatan korupsi itu lebih tinggi daripada sekadar tindakan mencuri dan penggelapan. Kalau pencurian -- mengutip buku KPK yang mengutip Pasal 362 KUHP -- adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/hak yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.
Sedangkan penggelapan -- masih menurut buku KPK (dikutip dari Pasal 372 KUHP) -- adalah pencurian barang/hak yang dipercaya-kan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.
Lalu wilayah abu-abu?
Kalau dalam suatu operasi perusahaan ditemukan praktek-praktek yang ‘rasa-rasanya’ tidak diterima etika, tetapi ‘kok menentukan kelancaran operasi perusahaan,’ itulah dilema etika.
Kalau tetap dilakukan ya itu sudah pelanggaran, seperti suap, uang pelicin, pungli, dan lain-lain. Tapi kalau tidak dilakukan operasi perusahaan bisa-bisa terganggu serius.
Itu daerah abu-abu!
Itulah sebab setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya.
Lho, kok, bisa begitu, ya?
Bukankah orang berdagang terbiasa melakukan kecurangan? Mengurangi timbangan atau takaran? Menipu dan memperdaya pembeli? Yang penting untung!
Terakhir ini di dunia bisnis ada pergeseran dari nilai intelektual ke emosional dan kemudian ke spiritual. Konsep GCG mencerminkan sekali praktek bisnis yang dilandasi sisi moral dan etika.
Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary disebutkan, bahwa etika didefinisikan sebagai:
1. the discipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation.
2. (a). set of moral principles and values, (b) theory or system of moral values, (c) the principles of conduct governing an individual or a group.
Intinya etika adalah prinsip-prinsip moral dan nilai, pembeda yang baik dan buruk.
Nah, kalau begitu mengapa orang melupakan prinsip bisnis yang dijalankan tokoh dunia yang namanya Muhammad bin Abdillah, sang Nabiyullah dan Rasulullah terakhir?
Yang diajarkan Muhammad Saw dalam berbisnis adalah nilai-nilai universal. (1) Siddiq (benar, dapat dipercaya); (2) Amanah (menepati janji); (3) Fathonah (memiliki wawasan luas); (4) Tabligh (berkomunikasi).
Seorang non muslim seperti Hermawan Kertajaya, yang kita kenal sebagai pakar marketing dari MarkPlus. “Bila ingin mempelajari prinsip dan etika bisnis, pelajarilah dari agama Islam dan juga Konfusius,” tuturnya seperti dikutip oleh sebuah situs.
Konfusius?
Sebagai seorang filsuf yang hidup sekitar tahun 500 SM, lanjut Hermawan Kertajaya yang juga keturunan Tionghoa ini, Konfusius adalah yang pertama yang berhasil menggabungkan berbagai keyakinan dari masyarakat Cina menjadi satu perangkat nilai luhur yang berdasarkan pada moralitas pribadi.
Konfusius mengajarkan moral, perilaku baik, kemanusiaan, terus belajar, dan menjaga keseimbangan.
Aa Gym dan Hermawan Kertajaya dalam bukunya Berbisnis dengan Hati menyebutkan definisi untung dalam bisnis adalah kalau bisnis menambah silaturahmi, menambah saudara. Juga kalau bisnis mendatangkan untung untuk orang banyak. Itulah untung.
KPK menjelaskan, nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Ada visi-misi dulu, baru kita bicara nilai-nilai perusahan.
Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah honesty (kejujuran), respect on the rule of law (taat asas/peraturan), trust (kepercayaan, dapat dipercaya), common sense (kepatutan dan ke-pantasan), serta menghargai HAM.
Etika bisnis sendiri merupakan bagian in-tegral dari nilai-nilai Good Corporate Governance (GCG). Nilai-nilai GCG itu hanya lima kaidah:
(1) Transparansi (Transparency);
(2) Akuntabilitas (Accountability);
(3) Responsibilitas (Responsibility);
(4) Independensi (Independency);
(5) Kesetaraan dan kewajaran (Fairness).
Kita sudah membahas soal pengertian GCG ini dalam segmen Mukadimah
Apa, sih, gunanya GCG?
Amerika Serikat harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929. Bangkrutnya Enron, perusahaan besar di AS, belakangan ini juga akibat pelanggaran terhadap etika bisnis, yang notabene melanggar kaidah GCG.
Secara akademis orang menyebutkan kebutuhan GCG timbul berkaitan dengan prinsip agency theory, yaitu untuk menghindari konflik antara principal dan agentnya.
Hal ini bisa dipahami, kalau melihat pengertian istilah GCG itu sendiri, yang merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan.
KPK bilang dalam situsnya, bahwa GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan dan perundang-undangan.
Masih menurut KPK, penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling ber-hubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator; dunia usaha sebagai pelaku pasar; dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.
Dunia usaha berperan menerapkan GCG ini dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan.
Prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah GCG adalah etika bisnis itu sendiri. Jelas, korupsi sebagai tindakan melawan hukum yang merugikan perusahaan atau bahkan negara bertentangan sekali dengan kaidah-kaidah GCG.
Pertamina Clean adalah episode kesekian dari upaya Pertamina untuk menerapkan etika bisnis dalam keseharian operasinya. Beban sejarah masa lalu yang pahit yang pernah memberati pundak Pertamina terus dikubur dengan upaya membersihkan diri dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan konflik kepentingan. •••
Lho, kok, bisa begitu, ya?
Bukankah orang berdagang terbiasa melakukan kecurangan? Mengurangi timbangan atau takaran? Menipu dan memperdaya pembeli? Yang penting untung!
Terakhir ini di dunia bisnis ada pergeseran dari nilai intelektual ke emosional dan kemudian ke spiritual. Konsep GCG mencerminkan sekali praktek bisnis yang dilandasi sisi moral dan etika.
Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary disebutkan, bahwa etika didefinisikan sebagai:
1. the discipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation.
2. (a). set of moral principles and values, (b) theory or system of moral values, (c) the principles of conduct governing an individual or a group.
Intinya etika adalah prinsip-prinsip moral dan nilai, pembeda yang baik dan buruk.
Nah, kalau begitu mengapa orang melupakan prinsip bisnis yang dijalankan tokoh dunia yang namanya Muhammad bin Abdillah, sang Nabiyullah dan Rasulullah terakhir?
Yang diajarkan Muhammad Saw dalam berbisnis adalah nilai-nilai universal. (1) Siddiq (benar, dapat dipercaya); (2) Amanah (menepati janji); (3) Fathonah (memiliki wawasan luas); (4) Tabligh (berkomunikasi).
Seorang non muslim seperti Hermawan Kertajaya, yang kita kenal sebagai pakar marketing dari MarkPlus. “Bila ingin mempelajari prinsip dan etika bisnis, pelajarilah dari agama Islam dan juga Konfusius,” tuturnya seperti dikutip oleh sebuah situs.
Konfusius?
Sebagai seorang filsuf yang hidup sekitar tahun 500 SM, lanjut Hermawan Kertajaya yang juga keturunan Tionghoa ini, Konfusius adalah yang pertama yang berhasil menggabungkan berbagai keyakinan dari masyarakat Cina menjadi satu perangkat nilai luhur yang berdasarkan pada moralitas pribadi.
Konfusius mengajarkan moral, perilaku baik, kemanusiaan, terus belajar, dan menjaga keseimbangan.
Aa Gym dan Hermawan Kertajaya dalam bukunya Berbisnis dengan Hati menyebutkan definisi untung dalam bisnis adalah kalau bisnis menambah silaturahmi, menambah saudara. Juga kalau bisnis mendatangkan untung untuk orang banyak. Itulah untung.
KPK menjelaskan, nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Ada visi-misi dulu, baru kita bicara nilai-nilai perusahan.
Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah honesty (kejujuran), respect on the rule of law (taat asas/peraturan), trust (kepercayaan, dapat dipercaya), common sense (kepatutan dan ke-pantasan), serta menghargai HAM.
Etika bisnis sendiri merupakan bagian in-tegral dari nilai-nilai Good Corporate Governance (GCG). Nilai-nilai GCG itu hanya lima kaidah:
(1) Transparansi (Transparency);
(2) Akuntabilitas (Accountability);
(3) Responsibilitas (Responsibility);
(4) Independensi (Independency);
(5) Kesetaraan dan kewajaran (Fairness).
Kita sudah membahas soal pengertian GCG ini dalam segmen Mukadimah
Apa, sih, gunanya GCG?
Amerika Serikat harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929. Bangkrutnya Enron, perusahaan besar di AS, belakangan ini juga akibat pelanggaran terhadap etika bisnis, yang notabene melanggar kaidah GCG.
Secara akademis orang menyebutkan kebutuhan GCG timbul berkaitan dengan prinsip agency theory, yaitu untuk menghindari konflik antara principal dan agentnya.
Hal ini bisa dipahami, kalau melihat pengertian istilah GCG itu sendiri, yang merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan.
KPK bilang dalam situsnya, bahwa GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan dan perundang-undangan.
Masih menurut KPK, penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling ber-hubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator; dunia usaha sebagai pelaku pasar; dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.
Dunia usaha berperan menerapkan GCG ini dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan.
Prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah GCG adalah etika bisnis itu sendiri. Jelas, korupsi sebagai tindakan melawan hukum yang merugikan perusahaan atau bahkan negara bertentangan sekali dengan kaidah-kaidah GCG.
Pertamina Clean adalah episode kesekian dari upaya Pertamina untuk menerapkan etika bisnis dalam keseharian operasinya. Beban sejarah masa lalu yang pahit yang pernah memberati pundak Pertamina terus dikubur dengan upaya membersihkan diri dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan konflik kepentingan. •••
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar