Sabtu, 10 Oktober 2009

ETIKA AKUNTANSI, REALITA DAN IDEALISME DALAM PENEGAKANNYA by : D. A. Hime a.k.a Dwi Andi Rohmatika

Tugas Kelompok

BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan bisnis adalah memperoleh laba melalui aktivitas kewirausahaan. Tapi perilaku pebisnis lazimnya untuk mencapai target keuntungan itu beda antar sesama pebisnis. Para pelaku bisnis memiliki perbedaan perspektif dalam memahami etika bisnis. Ada yang melihat etika hanya ihwal baik dan buruk dalam bisnis. Namun ada juga pebisnis lebih memahami “etika” bisnis sebagai ketaatan pada undangundang dan peraturan serta mekanisme pasar.

Sebuah profesi adalah pilihan setiap orang. Dalam sebuah profesi, kita tidak hanya berhubungan dengan rekan kerja dan kolega, tetapi juga klien. Sebelum memasuki dunia profesi, seorang manusia terikat dalam norma yang berlaku di masyarakat. Ketika kita sudah masuk dunia tersebut, kita juga akan terikat dengan norma kelompok yang berlaku pada sebuah profesi tertentu. Hal ini sering disebut dengan kode etik profesi. Tulisan ini akan membahas kode etik tersebut dan berbagai kedala yang ada dalam menegakkannya, terutama dalam profesi akuntan.
Kode etik sangat erat hubungannya dengan etika dan moralitas dan dasar pembenaran semua perilaku dari kacamata etika adalah hati nurani. Dalam sebuah komunitas tertentu, kode etik digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sesuatu agar tidak merugikan orang lain, terutama masyarakat. Perlu kita pahami bahwa tidak semua peraturan dalam kode etik profesi tercantum dalam undang – undang suatu negara sehingga kekuatan mengikatnya pun tidak terlalu memaksa. Disinyalir ada kecenderungan untuk melakukan suatu pelanggaran dalam menjalankan suatu profesi karena tekanan kekuasaan dari atasan, keinginan untuk mengeruk keuntungan sendiri, dan konflik kepentingan.

BAB II

ISI

Akuntansi adalah sebuah bagian penting dalam perusahaan yang mengolah data keuangan. Bagian ini bisa disebut sebagai jantung perusahaan karena baik tidaknya perkembangan sebuah perusahaan ditentukan dari output data akuntansi perusahaan. Oleh karena itu banyak pihak yang terkadang ingin memanfaatkannya untuk melakukan hal yang tidak baik demi kepentingan diri sendiri. Tidak jarang perbuatan ini akan menimbulkan kerugian pada pemegang kepentingan lainnya. Misalnya seorang direktur yang ingin mengakui pendapatan yang baru dijanjikan tapi belum diterima sama sekali agar pendapatan dari perusahaan naik, seorang manajer yang ingin menunda pencatatan beban operasi agar keuntungan bertambah, dan para pemegang saham yang sepakat untuk mengalihkan sebagian pendapatan perusahaan ke rekening pribadi mereka untuk menghindari pembayaran pajak yang terlalu tinggi kepada pemerintah.

Pada berbagai kasus, seorang akuntan sering menjadi korban pemaksaan untuk membuat laporan akuntansi palsu atau mengubah laporan tersebut. Terbukti dengan maraknya tindak kecurangan akhir – akhir ini yang muncul ke permukaan seperti kasus Asian Agri, Enron, dan masih banyak lagi yang menunjukkan dengan jelas suatu pelanggaran kode etik profesi akuntansi. Hal ini menggugah hati kita untuk memahami bagaimana sesungguhnya realita yang dihadapi seorang akuntan. Banyak yang berkomentar pesimistis atau bahkan memberi jargon “jujur ajur” di profesi akuntan. Jika kita ingin bertahan, maka mau tidak mau kita harus mengikuti arus yang ada di sekitar kita. “Kalau ingin bertahan di dunianya tukang tipu, kau juga harus jadi penipu,” kira – kira seperti itulah komentar orang – orang yang sudah mencicipi nikmatnya dunia kerja seorang akuntan. Mereka yang antipati bahkan berkomentar lebih tajam seperti “Kau itu masih mahasiswa. Masih bisa mengusung – usung idealisme karena belum pernah mencecap pahit dunia kerja di luar sana. Bisa saja kau berdemo menentang keras korupsi. Tapi tunggu saja ketika kau sudah jadi pejabat, mungkin kau sendiri yang akan korupsi.” Kita bisa saja menolak pernyataan semacam ini. Tapi kita juga perlu melihat bahwa mereka yang pesimis terhadap penegakan kode etik akuntansi mempunyai dasar yang cukup kuat. Berdasarkan sebuah penelitian terhadap beberapa orang akuntan, 20% tidak pernah melakukan kecurangan apa pun situasinya, 60% berpendapat tindakan mereka bergantung pada situasi dan kondisi yang ada, dan 20% lainnya mengatakan pernah melakukan kecurangan seakan – akan itu sudah menjadi kebisaaan.

Hal inilah yang membuat masyarakat bertanya – tanya, apakah sebegitu sulitnya mempertahankan idealisme di tengah realita yang ada saat ini? Apakah kode etik hanya akan menjadi isi sebuah kitab usang yang teronggok penuh debu di sudut perpustakaan? Ahli etika akuntansi Duska pernah mengatakan kita telah bersikap etis jika kita yakin apa yang kita lakukan benar dan kita bangga telah melakukannya. Saya rasa satu hal ini perlu dipegang teguh ketika kita mengambil sikap. Selain itu, lingkungan yang tidak melakukan hal yang benar tidak akan menghalangi kita untuk melakukan hal – hal benar yang bisa dilakukan.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Tujuan bisnis tentu meraup laba. Tapi perilaku (etika) pebisnis lazimnya dalam mencapai target keuntungan itu berbeda antar sesama pebisnis. Para pelaku bisnis memiliki perbedaan perspektif dalam memahami etika bisnis. Ada yang melihat etika hanya ihwal baik atau buruk dalam bisnis. Namun ada juga pebisnis lebih memahami etika bisnis sebagai ketaatan pada undang-undang dan peraturan serta mekanisme pasar. Sebaliknya ada pelaku bisnis yang lebih mengedepankan “pokoknya untung” dengan segala cara: mengabaikan etika bisnis, tanpa kejujuran, tanpa rasa malu (guilty complex) , tanpa atau sedikit modal uang (“perusahaan Ali- Baba”) dan tanpa kerja keras tapi menghasilkan uang banyak. Di masa orde baru pebisnis semacam ini lazim melakukan bisnis dengan memanfaatkan fasilitas atau bisnis koneksi. Bisnis fasilitas akan menafikan persaingan usaha yang sehat, bahkan bertentangan dengan persaingan usaha itu sndiri.

Seorang akuntan sering menjadi korban pemaksaan untuk membuat laporan akuntansi palsu atau mengubah laporan tersebut. Karena akuntansi adalah sebuah bagian penting dalam perusahaan yang mengolah data keuangan. Bagian ini bisa disebut sebagai jantung perusahaan karena baik tidaknya perkembangan sebuah perusahaan ditentukan dari output data akuntansi perusahaan.

Mengenai praktek bisnis yang dikembangkan dengan tidak didasarkan etika diharapkan dapat memberikan pengetahuan bahwa etika adalah kunci untuk membangun perekonomian yang sehat dan kuat diatas kekuatan sendiri, sehingga dalam jangka panjang akan menciptakan stabilitas ekonomi. Perekonomian yang stabil dan tumbuh yang didasarkan pada kekuatan yang ril dalam memenangkan persaingan, adalah suatu proses pelatihan bagi para “atlit” ekonomi, sehingga pelaku bisnis (diistilahkan dengan atlit) dapat berlari kencang dan memenangkan pertandingan (yaitu persaingan) karena melakukan pelatihan, bukan karena melakukan dophing. Pelatihan itu hanya akan memberikan kemajuan jika dilakukan dengan cara, yaitu penggunaan etika, yang benar.

SARAN

Kode etik masih sangat diperlukan dan dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan. Dengan adanya kode etik maka dapat menghasilkan reputasi yang baik di bidang etika yang merupakan aset penting bagi perusahaan, jadi jangan menyalahgunakan kode etik yang sudah ditetapkan.




2 komentar:

D. A. hime mengatakan...

Can't believe that someone use my article as a source for their assignments ... :) Good luck and hope to see you visiting my blog always. Warm Regards, DA

http://dwiandi.spaces.live.com/

Herman Lobo mengatakan...

Ow ow ow...Kamu ketauan COPAS....wkwkwkwkkkk