Minggu, 29 November 2009

Etika Bisnis Jadi Sorotan di AS

Citigroup Batalkan Pesanan Pesawat Mewah

Kamis, 29 Januari 2009 | 01:03 WIB


New York, Selasa - Sebagian besar perusahaan AS memiliki pengawasan etika. Namun, dengan adanya krisis ini, orang bertanya apa benar hal itu dimanfaatkan dengan baik.

Kejadian seperti kasus Bernard Madoff yang dituduh melakukan skema Ponzi, krisis subprime mortgage, hingga pengeluaran berlebihan para eksekutif Merrill Lynch membuat kepercayaan para investor melemah. Hasilnya, dana investor sebesar 6,9 triliun dollar AS menguap di pasar saham tahun lalu.

”Para investor tidak memercayai perusahaan tempat mereka sebelumnya menanamkan dana. Mereka tidak memercayai laporan keuangan, audit, lembaga pemeringkat obligasi,” ujar Steve Priest, Ketua Grup Etika Kepemimpinan, perusahaan konsultan yang telah bekerja untuk 50 perusahaan terbesar di AS dan perusahaan lain di 40 negara.

Diabaikannya prosedur standar pengucuran kredit serta kurangnya permodalan turut menyebabkan jatuhnya firma keuangan tua dan ternama di Wall Street, seperti Bear Stearns dan Lehman Brothers. Ujungnya adalah pengucuran dana talangan pemerintah ke perbankan sebesar 700 miliar dollar AS. Dampak lain, jutaan keluarga AS mendapati dana simpanan pensiun mereka habis dan ribuan orang kehilangan pekerjaan.

Kejadian ini seharusnya memberi inspirasi agar perusahaan-perusahaan memperbaiki etika bisnis mereka. Akan tetapi, ahli etika bisnis menyatakan, tidak semua perusahaan menanggapi pesan ini.

Kerry Francis, Kepala Divisi Investigasi Perusahaan dari Deloitte Financial Advisory Services, menulis hasil survei yang menunjukkan 63 persen eksekutif yakin penipuan akan meningkat dua tahun ke depan karena resesi ini.

”Saya yakin penipuan akan terus terjadi. Pikiran manusia memiliki kemampuan untuk memiliki perilaku buruk. Itulah sebabnya pengawasan harus ditegakkan. Anda tidak dapat menjalankan perusahaan dengan pemimpin yang menyatakan, saya memercayai para pegawai,” katanya.

Alex Brigham, Direktur Eksekutif pada The Ethisphere Institute, menyatakan, banyak perusahaan yang hanya melakukan janji-janji mengenai etika perusahaan dan kepatuhan.

Brigham menyatakan, hal tersebut terbukti pada perusahaan asuransi raksasa, AIG. Josseph Cassano, pimpinan Departemen Produk Keuangan AIG, tidak menyertakan pegawai pada bidang ketaatan dalam rapat-rapat penting.

Citigroup membatalkan penerimaan pesanan pesawat yang telah dipesan jauh sebelum krisis finansial global terjadi. Citigroup mendapat tekanan dari Gedung Putih.

Juru bicara Gedung Putih mengatakan bahwa membeli pesawat mewah bukanlah tindakan bijaksana. Selain tekanan dari Gedung Putih, Citigroup juga mendapat tekanan dari para politisi yang menyatakan prihatin atas langkah Citigroup yang tahun lalu menerima bantuan talangan dari pemerintah itu.

Dengan pembatalan soal pesawat tersebut, uang muka yang telah dibayarkan akan hilang. Akan tetapi, uang tersebut dapat dikembalikan ke Citigroup jika pesawat itu terjual kepada pihak lain kelak.

Hal itu dikatakan oleh sumber yang paham dengan transaksi itu. Citigroup merencanakan membeli pesawat mewah buatan Perancis, Dassault Falcon 7X, seharga 50 juta dollar AS. Citigroup juga merencanakan mengurangi jumlah pesawat perusahaan dari lima menjadi dua.


Stimulus dibahas


Acara dengar pendapat mengenai rancangan paket stimulus akan dimulai Selasa waktu Washington. Obama berkunjung ke Capitol Hill untuk bertemu dengan anggota DPR dan para senator dari Partai Republik yang skeptis dengan rencana tersebut.

Kubu Republik menginginkan tambahan dana stimulus berupa pengurangan pajak dan pemberian insentif tambahan pada paket stimulus ekonomi itu. Di sisi lain, mereka menginginkan pengurangan anggaran pemerintah dari 550 miliar dollar AS.

Rencana paket stimulus itu berjumlah 816 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, akan dikucurkan dana sebesar 525,5 miliar dollar AS atau 64 persen melalui pengeluaran pemerintah dan dalam bentuk pengurangan pungutan pajak dalam jangka waktu 16 bulan.

Pekan lalu, Direktur Anggaran Obama, Peter Orszag, mengatakan, pemerintah bertekad mengucurkan setidaknya 75 persen dari paket stimulus pada 30 September 2010. (AP/AFP/Reuters/joe)


Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/29/01035760/etika.bisnis.jadi.sorotan.di.as


KPPU Toleransi Carrefour Benahi Etika Bisnis

By Republika Newsroom
Senin, 13 April 2009 pukul 18:18:00


JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta PT Carrefour Indonesia Tbk (Carrefour) mengubah moral hazard dan menghormati etika bisnis dalam menjalankan usaha ritelnya di Indonesia.

Jika nantinya di kemudian hari ada upaya merubah perilaku usaha, upaya pemeriksaan terhadap perusahaan ritel terbesar di Indonesia tersebut akan dihentikan KPPU.''Ya, KPPU siap menghentikan pemeriksaan jika ada upaya perubahan perilaku dalam berbisnis,'' ujar Direktur Komunikasi KPPU, Ahmad Junaidi, dihubungi Republika, di Jakarta, Senin siang (13/4).

Senin kemarin Carrefour menjalani pemeriksaan pendahuluan terkait kasus dugaan monopoli dalam usaha ritel di Indonesia. Dari pihak Carrefour yang hadir untuk memenuhi panggilan KPPU adalah Corporate Affairs Director, Direktur Legal, dan dua orang pengacara. Sedang dari KPPU, kata Junaidi, dipimpin Ketua Tim Pemeriksa dari KPPU Dedie S Martadisastra.

Junaidi menguraikan, pemeriksaan tersebut lebih pada pendalaman dugaan tindakan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, ketika Carrefour mengakuisisi PT Alfa Retailindo Tbk.

KPPU secara resmi memperkarakan secara resmi kasus akuisisi Careefour dan Alfa dengan dugaan tindakan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Menurut Ahmad Junaidi, hasil pemeriksaan awal pada pekan pertama bulan Januari hingga 11 Maret 2009, menunjukkan laporan Carrefour telah menguasai pangsa pasar industri retail di atas 50 persen.

Pada bulan Januari 2008, Carrefour telah mengakuisisi 75 persen saham Alfa Retailindo Tbk dengan nilai mencapai Rp 674 miliar atau 49,3 juta euro. Dengan mengakuisisi Alfa, maka Carrefour menguasai hampir 70 gerai pasar modern di seluruh Indonesia.

Sejak awal April lalu, KPPU menjatuhkan dugaan adanya monopoli yang dilakukan Carrefour pada pasar hulu (pemasok) dan hilir (penjualan ke konsumen) paska melakukan akuisisi pada PT Alfa Retailindo Tbk.

Selanjutnya, KPPU menjadwalkan agenda pemeriksaan hingga 13 Mei 2009 atau 30 hari kerja. Jangka waktu itu pula yang diberikan KPPU kepada Carrefour untuk mengubah perilaku.

Junaidi menambahkan, jika ternyata dalam pemeriksaan ternyata ditemukan Carrefour menerima dugaan dan bukti yang disampaikan KPPU maka pemeriksaan akan terus berlanjut.

Namun, lanjutnya, ketika dilakukan pemeriksaan pendahuluan tersebut, Carrefour belum menentukan sikap akan menerima atau menolak dugaan dari KPPU.

Namun, Carrefour sebelumnya sudah memberikan sanggahan atas tuduhan KPPU jika terjadi monopoli usaha, bahkan dengan menggunakan laporan AC Nielsen Indonesia, Carrefour menyatakan tidak terjadi pelanggaran monopoli usaha ritel di Indonesia. zak/kpo

Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/43670/KPPU_Toleransi_Carrefour_Benahi_Etika_Bisnis

Etika Bisnis, Membangun Kepedulian dalam Lingkungan Perusahaan dan Masyarakat

Selasa, 12-05-2009 09:29:34 oleh: Adolf Bramandita
Kanal: Opini


Saat ini, mungkin ada sebagian masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis. Bisa jadi masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika, karena urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya yang kuat. Ataupun etika hanya menjadi wilayah pribadi seseorang. Tetapi pada kenyataannya etika tetap saja masih berlaku dan banyak diterapkan di masyarakat itu sendiri. Bagaimana dengan di lingkungan perusahaan? Perusahaan juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yang cukup jelas dalam pengelolaannya. Ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. Untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri.

Namun apakah etika itu sendiri dapat teraplikasi dan dirasakan oleh pihak-pihak yang wajib mendapatkannya? Pada prakteknya banyak perusahaan yang mengesampingkan etika demi tercapainya keuntungan yang berlipat ganda. Lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga menggeser prioritas perusahaan dalam membangun kepedulian di masyarakat. Kecenderungan itu memunculkan manipulasi dan penyelewengan untuk lebih mengarah pada tercapainya kepentingan perusahaan. Praktek penyimpangan ini terjadi tidak hanya di perusahaan di Indonesia, namun terjadi pula kasus-kasus penting di luar negeri.

Contoh kasus di dalam negeri, kita diingatkan oleh Freeport dengan perusakan lingkungan. Masyarakat dengan mata kepala sendiri menyaksikan tanah airnya dikeruk habis. Sehingga dampak dari hadirnya Freeport mendekatkan masyarakat dari keterbelakangan. Kalaupun masyarakat menerima ganti rugi, itu hanyalah peredam sesaat, karena yang terjadi justru masyarakat tidak banyak belajar dari usahanya sendiri. Masyarakat terlena dengan ganti rugi tiap tahunnya, padahal dampak jangka panjangnya sungguh luar biasa. Masyarakat akan semakin terpuruk dari segi mental dan kebudayaannya akan terkikis. Juga dalam beberapa tahun ini, tentunya kita masih disegarkan oleh kasus lumpur Lapindo. Kita tahu berapa hektar tanah yang terendam lumpur, sehingga membuat masyarakat harus meninggalkan rumahnya. Mungkin bisa jadi ada unsur kesengajaan di dalamnya. Demi peningkatan profit yang tinggi, ada hal yang perlu dikorbankan, tentunya tidak lain masyarakat itu sendiri. Kita juga masih ingat akan kasus Teluk Buyat yang menyebabkan tercemarnya lingkungan tersebut. Yang cukup menghebohkan mungkin kasus Marsinah, seorang buruh yang memperjuangkan hak-haknya, tetapi mengalami peristiwa tragis yang membuat nyawanya melayang.

Semua itu terjadi karena tidak diterapkannya etika dalam berbisnis. Di dalam etika itu sendiri terkandung penghargaan, penghormatan, tanggungjawab moral dan sosial terhadap manusia dan alam. Kalau kita melihat lebih jauh tentunya ada dua kepentingan, baik dari perusahaan dan masyarakat yang perlu diselaraskan. Di dalamnya terkandung juga hak dan kewajiban yang harus terpenuhi. Coba mari kita renungkan bersama, bukankah tidak diterapkannya etika dalam berbisnis justru akan menjadi bumerang bagi perusahaan tersebut? Mungkin akan banyak biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan kasus serta citra perusahaan di masyarakat luas semakin miring. Hal ini justru akan sangat merugikan perusahaan itu sendiri.

Belum lagi kasus yang terjadi di luar negeri. Sebagai contoh adalah kasus asuransi Prudential di Amerika. Belum lagi skandal Enron ,Tycon, Worldcom dsb. Banyaknya kasus yang terjadi membuat masyarakat berpikir dan mulai menerapkan etika dalam berbisnis. Apalagi sekarang masyarakat mulai membicarakan CSR (Corporate Social Responsibility). Apa itu? Dalam artikel yang ditulis oleh Chairil Siregar disebutkan CSR merupakan program yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan undang-undang pasal 74 Perseroan Terbatas. Tentunya dengan adanya undang-undang ini, industri maupun korporasi wajib melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan beban yang memberatkan. Salah satu contoh yaitu komitmen Goodyear dalam membangun masyarakat madani, ekonomi, pendidikan, kesehatan jasmani, juga kesehatan sosial. Kepedulian ini sebagai wujud nyata peran serta perusahaan di tengah masyarakat. Perlu diingat pembangunan suatu negara bukan hanya tanggungjawab pemerintah dan industri saja tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan kualitas hidup masyarakat.


Sumber: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=14239




Axis Bantah Langgar Etika Bisnis BlackBerry

Achmad Rouzni Noor II - detikinet
Kamis, 02/07/2009 12:46 WIB










  




BlackBerry Axis (rou/inet)

Jakarta - Natrindo Telepon Seluler membantah semua tudingan yang dialamatkan kepadanya tentang pelanggaran etika bisnis dalam hal menyediakan smartphone BlackBerry Axis dalam kondisi unlocked.

"Kebijaksanaan yang diambil Axis sama sekali tidak melanggar ketentuan dan etika bisnis," sergah Head of Corporate Communication Axis, Anita Avianty, kepada detikINET, Kamis (2/7/2009).

Menurutnya, Research In Motion (RIM) selaku produsen prinsipal dari ponsel cerdas tersebut memberikan keleluasaan kepada carrier atau mitra operatornya untuk memilih kondisi smartphone BlackBerry yang mereka inginkan. Baik itu terkunci secara ekslusif untuk layanan satu operator saja (locked) maupun terbuka untuk semua (unlocked).

"Jadi, keputusan untuk locked atau unlocked smartphone BlackBerry lebih didasarkan pada pertimbangan bisnis masing-masing carrier," jelas Anita lebih lanjut.

Sebelumnya, Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) sempat mengkritisi kebijakan yang diambil RIM kepada Axis mengenai penyediaan BlackBerry unlock.

Menurut Direktur Kebijakan dan Perlindungan Konsumen LPPMI Kamilov Sagala, kebijakan tersebut melanggar etika bisnis jika tidak equal treatment untuk semua mitra operator. Axis pun keberatan karena pihaknya termasuk yang disebutkan melanggar etika bisnis tersebut.

"Sebagai salah satu operator 3G dan GSM yang beroperasi di Indonesia, Axis selalu menjunjung tinggi etika bisnis serta memenuhi ketentuan yang diatur di dalam peraturan dan undang-undang yang berlaku di Indonesia," tandas juru bicara operator yang hampir seluruh sahamnya dikuasai asing ini. ( rou / ash )

Sumber:
http://www.detikinet.com/read/2009/07/02/115753/1157770/328/axis-bantah-langgar-etika-bisnis-blackberry



Kamis, 19 November 2009

Komisi Penyiaran Anggap Iklan PKS Melanggar Etika

Rabu, 18 Februari 2009 | 21:01 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Komisi Penyiaran Indonesia menilai iklan Partai Keadilan Sejahtera melanggar etika periklanan. Ketua Komisi Penyiaran, Sasa Djuarsa Sendjaja, mengatakan iklan PKS jelas menyerang pihak tertentu yang ditampilkan sedang berseteru. “Iklan itu tidak etis,” kata Sasa saat dihubungi Tempo, Rabu (18/2).

Dalam iklan di televisi, PKS menampilkan perseteruan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputi. PKS juga menampilkan perseteruan antara Ketua Umum Golkar, Jusuf Kalla, dengan Wakil Ketua Dewan Penasehat Golkar, Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Etika Pariwara Indonesia, kata Sasa, jelas menyatakan pengiklan tak boleh menjelekkan pihak lain. Sayangnya, pelanggaran etika periklanan ini tak memiliki sanksi apapun. “Sanksinya bersifat moral,” katanya.

Komisi Penyiaran, kata Sasa, telah mempelajari iklan tersebut. Hasilnya, iklan PKS tak melanggar Pedoman Pelaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.

Koordinator Pemantauan Kampanye Lembaga Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia, Izzul Muslimin, mengatakan tak tertutup kemungkinan iklan PKS atau iklan kontroversial yang meminta masyarakat tak memilih pemimpin yang tak menepati janji melanggar Undang-undang No 10 tahun 2008 tentang Pemlihan Umum Anggota Legislatif atau Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 19 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum. Tapi, keputusan pelanggaran itu ada di tangan Badan Pengawas Pemilihan Umum.

Komisi Penyiaran, kata Izzul, menunggu pernyataan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum. Jika Badan Pengawas menyatakan iklan itu melanggar Undang-undang Pemilihan Umum atau Peraturan Komisi Pemilihan, Komisi Penyiaran akan menindaklanjuti. “Kami akan meminta lembaga penyiaran tak menayangkan iklan itu,” katanya.

Sumber:

2010, Belanja Iklan Mencapai Rp 60 T

12 Nopember 2009

JAKARTA- Nilai bisnis industri periklanan tahun 2009 ini diperkirakan mencapai Rp 53 triliun. Sementara untuk pertumbuhan tahun 2010 ditaksir bakal naik 15 persen menjadi bisa mencapai Rp 60 trilliun.

Untuk tahun 2009 ini, belanja iklan didominasi industri telekomunikasi dan partai politik.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan) Indonesia Harris Thajeb seusai penandatanganan nota kesepahaman dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Jakarta, kemarin.

MOU ditandatangani oleh Ketua Umum PPPI dan Ketua KPI Sasa Djuarsa dengan tujuan untuk mendorong efektifitas Etika Pariwara Indonesia (EPI) terhadap beragam pariwara yang muncul di media massa, khususnya televisi.

Harris Thajeb menjelaskan pariwara atau iklan menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang cukup tinggi di Indonesia.

Terlebih dengan semakin ketatnya persaingan bisnis, maka iklan menjadi sarana komunikasi utama untuk merebut pasar. Sehingga kreativitas dan inovasi menjadi keharusan agar iklan dapat menarik konsumen.

’’Sayangnya, tidak semua iklan efektif dan etis karena sebagian justru melanggar EPI,’’kata dia. Nantinya, lanjut Harris, BPP (Badan Pengawas Periklanan) PPPI akan melakukan post monitoring setelah iklan tersebut tayang di televisi.

Namun BPP PPPI bukanlah lembaga sensor karena kewenangan tersebut sudah dilakukan oleh Badan Sensor Indonesia.

Selama ini, sistem pengawasan iklan yang beredar di masyarakat dilakukan oleh BPP yang bernaung dibawah payung lembaga PPPI. BPP bertugas menyosialisasikan kode etik periklanan di tanah air dan pembinaan kepada para anggotanya dalam menghasilkan karya-karya pariwara agar sejalan dengan Etika Pariwara Indonesia.

Saat ini PPPI, yang berdiri sejak 1972, memiliki anggota tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan data BPP PPPI periode 2005-2008, ditemukan 346 iklan bermasalah dan sekitar 277 iklan dinyatakan telah melanggar etika pariwara.

Kebanyakan pelanggaran tersebut terkait dengan penggunaan istilah atau kata yang yang bersifat superlatif tanpa bukti pendukung yang obyektif. Hingga Oktober 2009, ditemukan 150 kasus iklan bermasalah dan 100 diantaranya dinyatakan melanggar kode etik.
Pelanggaran Etika Meski demikian terjadi peningkatan kepedulian dari biro iklan terhadap EPI dalam beberapa waktu.

Periode Januari - Juni 2009 ditemukan 68 pelanggaran iklan, namun hanya 25 kasus ditanggapi secara positif sedangkan 34 kasus lainnya tidak ditanggapi oleh biro iklan, adapun 9 kasus lainnya tidak diketahui alamat biro iklannya.

Nantinya, pascanota kesepahamanan ini, BPP PPPI, bersama KPI akan lebih efektif mengatasi berbagai pelanggaran etika yang akan terjadi ke depan.

Meski demikian, monitoring tersebut juga tidak berhasil tanpa dukungan berbagai pihak, seperti masyarakat, LSM, media periklanan, pengiklan maupun biro iklan agar mau melaporkan jika terjadi dugaan pelanggaran dalam beriklan.(bn-59)

Sumber:
 http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/11/12/87827/2010..Belanja.Iklan.Mencapai.Rp.60.T

Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Meningkat

Jumat, 06 Maret 2009 11:15 WIB

KUTA--MI: Pengaduan pelanggaran etika dalam tugas jurnalistik di Indonesia mengalami peningkatan drastis hingga 424 kasus pengaduan selama 2008.

Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi mengatakan hal tersebut dalam lokakarya 'Peliputan Pemilu dan Pilpres bagi Jurnalis' di Kuta, Bali, Jumat (6/3).

"Selama tahun 2008, Dewan Pers menerima kurang lebih 424 pengaduan atas kinerja jurnalis di Indonesia. Angka ini naik drastis dibanding tahun 2007," kata Alamudi.

Berdasarkan catatan Dewan Pers, pada tahun 2007 terdapat 20 pengaduan atau sekitar 240 kasus. Namun tahun 2008 pengaduan naik drastis hampir dua kali lipatnya. Dewan Pers mencatat 424 kasus dalam satu tahun atu 34 kasus setiap bulan.

"Peningkatannya sangat tinggi. Ini yang harus diperhatikan, bagaimana dalam satu tahun kasus pengaduan bisa meningkat sangat drastis," kata Alamudi.

Dewan Pers mencatat sebagian besar kasus pengaduan adalah pelanggaran kode etik jurnalistik. Alamudi menilai hal ini dikarenakan rendahnya pemahaman jurnalis terhadap kode etik yang mengatur mereka.

"Berdasarkan survei, hampir 85 persen wartawan atau jurnalis tidak pernah membaca kode etik jurnalistik," kata Alamudi.

Alamudi mengatakan, dengan tidak pernah membaca kode etik jurnalistik maka sulit memahami Undang-undang Pers dan bagaimana menjalankan tugas jurnalistiknya dengan benar.

Permasalahan kode etik yang sering dilanggar sang jurnalis tidak melakukan verifikasi kepada narasumber tentang sebuah isu, wartawan seringkali lupa menerapkan asas praduga tak bersalah.

"Tugas wartawan menyampaikan informasi, bukan menghakimi. Seorang tersangka tidak boleh dianggap bersalah sampai hakim menyatakan sebaliknya," kata Alamudi. (Ant/OL-02)

Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/03/06/63766/92/14/Pelanggaran-Kode-Etik-Jurnalistik-Meningkat

Etika beriklan masih diabaikan

Rabu, 03/09/2008

JAKARTA: Pelanggaran etika beriklan yang paling banyak dilakukan adalah menggunakan pernyataan superlatif untuk produk yang diiklankan, tanpa data pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.

FX. Ridwan Handoyo, Ketua Badan Pengawas Periklanan, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), mengatakan pernyataan superlatif seperti terbagus dan terhebat, tanpa didukung bukti, dapat dikategorikan sebagai tindakan membohongi konsumen.

Berdasarkan data Badan Pengawas Periklanan PPPI dalam periode awal 2006 hingga akhir Januari 2008, pelanggaran etika beriklan seperti itu merupakan yang paling banyak dilakukan oleh para pengiklan.

Badan Pengawas PPPI menetapkan 77 kasus atau 38% dari 203 kasus pelanggaran yang terjadi selama kurun waktu itu, melanggar Etika Pariwara Indonesia (EPI) Bab III.A.1.2.2 yang menyebutkan iklan tidak boleh menggunakan kata superlatif seperti paling atau nomor satu, tanpa menjelaskan keunggulan yang dimaksud.

Klaim itu juga harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber autentik.

Total iklan yang dipantau Badan Pengawas PPPI dalam periode itu sebanyak 197 produk atau materi iklan. Dalam satu produk atau materi iklan itu ada yang tercatat melakukan lebih dari satu kasus pelanggaran.

"Itu kan artinya suatu janji kepada konsumen bahwa produknya memang yang paling bagus. Nah, janji itu kan tidak boleh bohong. Kebanyakan, klaim itu tidak didukung bukti. Cuma omong doang," kata Ridwan kepada Bisnis, baru-baru ini.

Konsumen, ujarnya, dapat menuntut pengiklan yang tidak dapat membuktikan klaim atas produk yang mereka iklankan.

"Namun, memang kebanyakan masyarakat belum aware [menyadari], sehingga belum ada konsumen yang menuntut," katanya.

Namun, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan pihaknya cukup banyak menerima keluhan dari masyarakat atas klaim pengiklan yang superlatif tersebut.

Keluhan tersebut terutama untuk pengiklan produk consumer goods seperti kosmetik. "Pengaduan sudah cukup banyak. Konsumen agaknya sudah jengah dengan klaim-klaim seperti itu. Namun, memang belum ada yang sampai ke pengadilan," kata Tulus.

Sanksi

Mengacu pada Undang-Undang Konsumen, pengiklan yang tidak bisa membuktikan klaim dalam iklannya, bisa dikenai sanksi pidana penjara dua tahun dan sanksi denda Rp2 miliar.

Sayangnya, menurut Tulus, hingga saat ini belum ada konsumen yang meneruskan pengaduan mereka hingga ke pengadilan. Polisi atau pihak berwenang lainnya juga belum memberikan perhatian serius kepada masalah ini.

"Polisi seharusnya bisa menyidik. Ini kan delik biasa, bukan delik aduan. Jadi, tanpa pengaduan pun, ini bisa diusut," tambahnya.

Hingga saat ini, YLKI hanya mengirimkan surat kepada pengiklan untuk mengganti iklan mereka dan menyampaikan keluhan masyarakat kepada PPPI.

Namun, menurut Ridwan, sanksi paling berat dari PPPI juga hanya berupa mengeluarkan pembuat iklan dari keanggotaan PPPI, apabila tidak memberikan respons positif atas teguran yang diberikan asosiasi itu.

"Tetapi sejauh ini, kebanyakan [pengiklan] menanggapi dengan positif [teguran PPPI], dengan merevisi iklannya," kata Ridwan.

Dia menyebutkan sebagian besar pelanggaran itu disebabkan oleh minimnya pengetahuan pelaku industri periklanan terhadap etika-etika beriklan. (yeni.simanjuntak@bisnis.co.id)

Oleh Yeni H. Simanjuntak
Bisnis Indonesia

Sumber:
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/jasa-transportasi/1id77160.html

Pelanggaran disiplin Polri 2008 capai 778 kasus

Monday, 29 June 2009 22:22

Warta - Kriminal & Pengadilan




JAKARTA - Pelanggaran disiplin atau kode etik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) oleh jajaran kepolisian pada 2008 mencapai 778 kasus, kata Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri, Komisaris Jenderal Polisi Jusuf Manggabarani.

"Pada 2008 terdapat 778 kasus pelanggaran disiplin, sedang pada periode Januari - Maret 2009 ada 189 kasus pelanggaran displin," kata Jusuf pada Silaturrahim Kapolri dengan Pimpinan Media Cetak dan Elektronik di Mabes Polri, Jakarta, Senin (29/6).

Menurut Jusuf, dari total pelanggaran disiplin 2008, sebanyak 294 kasus diantaranya adalah pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pihak Pamen (Perwira Menengah) lima orang, Pama (Perwira Pertama) 21 orang, Bintara 259 orang dan Tamtama sembilan orang.

Sementara dari tindak pelanggaran disiplin yang dilakukan oknum polisi itu, ia mengatakan, sebanyak 250 personil dipecat pada 2008. Sementara pada Januari - Maret 2009 sudah ada 49 personil yang dipecat, karena melakukan pelanggaran disiplin.

Khusus oknum polisi yang diajukan ke peradilan umum pada 2008 mencapai 321 orang yang terdiri dari 216 orang terlibat kasus penganiayaan, 92 orang kasus narkoba, dan 13 orang kasus senjata tajam.

Sedang pada Januari - Maret 2009, terdapat 81 oknum polisi yang diajukan ke peradilan umum. Dari jumlah oknum polisi itu, masing-masing 52 orang karena kasus penganiayaan, 22 orang kasus narkoba dan tujuh orang kasus senjata tajam.

"Penanganan pelanggaran itu ada dua yakni proses indisipliner atau dinyatakan melanggar etika profesi, kemudian proses kedua tanpa menghilangkan proses pidananya dengan mengajukan oknum yang melanggar etika profesi ke peradilan umum," kata Jusuf.

Berkaitan dengan hal tersebut, lanjutnya, masyarakat diimbau untuk tidak sungkan melaporkan oknum polisi yang dinilai mengganggu ketertiban dan meresahkan masyarakat, karena pihak kepolisian akan menindak tegas oknum yang tidak disiplin.

"Siapa pun akan diperlakukan sama di depan hukum, tanpa membedakan dia masyarakat biasa atau aparat keamanan," katanya.
(dat04/ann)

Sumber:

Pelanggaran Etika Siaran Televisi Tinggi

Rabu, 19 Maret 2008 | 02:54 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Rasio pelanggaran etika pada tayangan televisi tergolong tinggi. Berdasarkan data rekapitulasi hasil uji coba pemantauan isi siaran pada triwulan ketiga 2007, separuh lebih tayangan yang dipantau melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Uji coba dilakukan oleh tim analis independen Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), embrio Tim Analisa Siaran KPI yang akan beroperasi mulai April nanti. “Padahal yang dipantau baru 15 persen jam tayang televisi,” kata Koordinator Pemantauan Yasirwan Uyun kepada Tempo kemarin di Jakarta.

Ia menjelaskan, pantauan dilakukan pada tayangan-tayangan yang berpotensi melanggar, seperti sinetron, talk show, dan infotainment. Ditemukan pelanggaran pada tayangan berbau pornografi, kekerasan, dan gangguan terhadap privasi. “Temuan ini segera kami klarifikasi kepada seluruh stasiun televisi yang diduga melanggar.”

Wakil Presiden Jusuf Kalla dua hari lalu meminta KPI mengumumkan program-program televisi yang buruk atau dilarang untuk ditonton dalam pertemuan dengan KPI di kantornya. Selama ini penghargaan selalu diberikan kepada program dengan kategori baik. "Ini untuk pembelajaran kepada stasiun-stasiun televisi," kata Ketua KPI Sasa Djuarsa Sendjaja seusai pertemuan. (Koran Tempo, 18 Maret)

Menurut Yasirwan, KPI akan mengumumkan acara-acara yang tak layak tonton mulai Mei nanti. Pengumuman akan disampaikan setiap dua pekan. Kini calon tim analisis untuk pengawasan 24 jam sedang dalam diseleksi.


Agoeng Wijaya


Sumber:

http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/03/19/brk,20080319-119489,id.html

SEBANYAK 56 BIRO IKLAN MELAKUKAN PELANGGARAN ETIKA

Tanggal : 10-01-2008, Kategori : Berita Utama, Sorot Tokoh

SEBANYAK 56 BIRO IKLAN MELAKUKAN PELANGGARAN ETIKA

Laporan : H.Erry Budianto.


Bandung-Surabayawebs.com

Badan Pengawas Periklanan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) sedikitnya telah menegur 56 perusahaan iklan atas pelanggaran etika selama dua tahun terskhir ini.


Pelanggaran ini berupa penampilan iklan yang superlative, yaitu memunculkan produk sebagai yang terbaik atau termurah. Iklan superlative ini acapkali dibumbui kecenderungan menjatuhkan pesaing di pasaran. “Jika semua bilang baik, termurah, ini akan membingungkan masyarakat dan pelanggan,” ujar Ketua Badan Pengawas PPPI, FX Ridwan Handoyo kepada wartawan, belum lama ini.


Dia mencontohkan iklan pada industri telekomunikasi. Setiap operator telekomunikasi mengaku menawarkan tariff termurah. Bahkan ada iklan yang menyebutkan bahwa produk paling murah meriah. Juga ada iklan produk kesehatan atau kosmetik yang menyebutkan paling efektif. “Tapi semua iklan superlative itu tidak didukung oleh bukti yang kuat. Jadi bisa merugikan masyarakat dan pelanggannya,” tuturnya kemudian.


Surat teguran dilayangkan setelah Badan Pengawas PPPI menemukan dugaan pelanggaran berdasarkan pengaduan masyarakat atau hasil pantauan, Kepada perusahaan periklanan anggota PPPI, Badan pengawas PPPI melakukan peneguran sekaligus meminta keterangan. Sedangkan kepada perusahaan non anggota, surat teguran berupa imbauan agar menjunjung tinggi etika beriklan.


Ridwan menyebutkan dari 149 kasus yang ditangani Badan Pengawas PPPI, tahun 2006 sebanyak 56n kasus dan 93 kasus di tahun 2007. Sebanyak 90 kasus telah dinyatakan melakukan pelanggaran dan 44 kasus lainnya masih dalam penanganan. Dari yang diputus melanggan etika, 39 kasus tak mendapatb respon oleh agensi. Untuk itu BP PPPI menruskannya ke Badan Musyawarah Etika PPPI.


Jumlah perusahaan periklanan yang melakukan pelanggaran cukup banyak itu ada kemungkinan terjadi akibat tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar. Diakuinya, selama ini rambu-rambu periklanan hanya diatur dalam bentuk Etika Periklanan Indonesia. “Mungkin karena belum ada aturan hukum yang jelas, pelanggaran tetap banyak,’ katanya.


Sumber: