Senin, 12 Oktober 2009

Etika Bisnis TELKOM

Etika bisnis TELKOM terdiri dari seperangkat Kebijakan Etika Kerja dan Etika Bisnis yang dirancang untuk mendukung pertumbuhan dan transformasi Perusahaan di masa depan.

Etika Bisnis TELKOM juga dikenal dengan The TELKOM Way (“TTW”) 135, mengandung beberapa unsur yang menjadi bagian dari setiap karyawan, seperti satu asumsi dasar, tiga nilai utama dan lima perilaku karyawan. Konsep dasar itu “Committed to You” (Committed 2 U). Sementara itu, ketiga nilai utama tersebut adalah: penghargaan konsumen, pelayanan yang unggul, dan sumber daya manusia yang kompeten. Lalu, kelima langkah perilaku: untuk memenangkan persaingan, menggapai tujuan, menyederhanakan, melibatkan setiap orang, kualitas dalam setiap pekerjaan, dan penghargaan terhadap pemenang. TTW 135 diharapkan akan menciptakan pengendalian kebudayaan yang efektif terhadap cara merasa, cara memandang, cara berpikir dan cara berperilaku, oleh seluruh karyawan TELKOM.

Etika Bisnis TELKOM terdiri dari beberapa ketentuan yang menetapkan setiap karyawan untuk menjaga sikap professional, jujur, adil dan konsisten sesuai praktik bisnis dengan seluruh stakeholder (pelanggan, mitra bisnis, pemegang saham, kompetitor serta masyarakat). Etika Bisnis TELKOM juga menekankan komitmen untuk mematuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku. Sebagai badan usaha milik negara dan flagship dalam bisnis informasi dan komunikasi di Indonesia, TELKOM harus menjaga hubungan yang transparan dan konstruktif dengan pemerintah sebagai pengatur dan pemegang saham mayoritas Perusahaan. Hal ini penting dalam upaya menghindari konflik kepentingan dan untuk melindungi pemegang saham minoritas.

Untuk menegakkan penerapan Etika Bisnis TELKOM, manajemen senantiasa berupaya untuk meningkatkan pemahaman karyawan mengenai pentingnya praktik-praktik etika bisnis. Hal itu dilakukan melalui proses Silaturahmi Patriot 135 yang diselenggarakan setiap hari Rabu selama 30 menit yang dipimpin dan diawasi oleh tiap kepala unit dan dilaporkan kepada Direktorat Human Capital & General Affair pada tanggal 5 setiap bulannya. Selain etika bisnis di atas, TELKOM juga menerapkan sejumlah kebijakan untuk meminimalisir risiko dari kesepakatan yang tidak wajar dan fraud melalui penerbitan peraturan yang melarang gratifikasi, kebijakan whistleblower dan kebijakan anti-fraud.

KEBIJAKAN LARANGAN GRATIFIKASI
TELKOM telah menerapkan kebijakan yang berlaku bagi seluruh karyawan dan termasuk manajemen yang melarang pemberian atau penerimaan uang, barang, fasilitas atau pemberian dalam bentuk apapun yang tidak patut, termasuk parsel kepada atau dari pejabat pemerintah, rekanan kerja, mitra bisnis atau pihak lain yang dapat mempengaruhi tugasnya sebagai pejabat senior maupun sebagai seorang karyawan TELKOM.

KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PELAPORAN (WHISTLEBLOWER)
Dalam upaya menerapkan GCG dan nilai-nilai perusahaan serta untuk mematuhi ketentuan Section 404 dalam SOA, TELKOM telah menerapkan kebijakan dan prosedur pelaporan yang mencakup cara menampung dan menangani pengaduan dalam rangka membangun perusahaan yang lebih transparan dan profesional.

Ketentuan SOA Section 404 telah merombak pengendalian internal atas pelaporan keuangan dengan menggunakan Committee of Sponsoring Organization (“COSO”) framework yang mencakup pengendalian pada tingkat transaksi dan tingkat entitas. Komite Audit sebagai salah satu unsur pengendalian internal diwajibkan untuk menyelenggarakan kebijakan dan prosedur whistleblower untuk menerima, menelaah dan menindaklanjuti pengaduan terutama yang disampaikan oleh para karyawan Perusahaan.

Kebijakan Anti-Fraud
Direksi berkomitmen untuk mencegah terjadinya penyimpangan melalui struktur pengelolaan secara terpadu dan pengendalian internal yang efektif mulai dari level entitas hingga proses transaksional. Manajemen secara rutin melakukan upaya bersama dengan unit-unit bisnis untuk meminimalisir risiko penyimpangan dan secara berkesinambungan memperbaiki kebijakan yang tengah berlangsung dan proses bisnis.
Dimuat pada tanggal 29 Mei, 2009
Sumber: Laporan Tahunan TELKOM 2008 (disampaikan kepada Bapemam-LK pada tanggal 11 Mei 2009

SUMBER:  

http://www.telkom.co.id/hubungan-investor/tata-kelola-perusahaan/etika-bisnis-telkom/

ETIKA BISNIS, SAAT MORAL JADI KEBUTUHAN

Edition No. 4/THN XLII, April 2007   
Warta Utama

ETIKA BISNIS, SAAT MORAL JADI KEBUTUHAN

Deputi Bidang Pencegahan-KPK Waluyo bercerita di depan peserta workshop Etika Bisnis di Pertamina. Banyak perusahaan yang umurnya puluhan tahun bahkan ratusan tahun dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, dan pegawainya pun bangga karenanya, pelaksanaan etika bisnis dan Good Corporate Governancenya menjadi salah satu sustainable competitive advantage. Waluyo menyebut Shell, BP, GE, Johnson and Johnson, sebagai di antara perusahaan yang dimaksud.
Sebaliknya perusahaan-perusahaan besar banyak yang bangkrut atau sekadar ‘mati nggak, hidup pun ogah’ karena penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan etika bisnis tidak konsisten.
“Lemahnya komitmen dan kepemimpinan dan tidak dipakainya instrumen di dalam penerapan etika bisnis,” kata Waluyo.
Kelemahan lain adalah dalam proses internalisasi code of conduct ke seluruh pegawai. Dalam bahasa Waluyo mereka mem-print code of conduct, lalu menempelkan di dinding (post), “Dan terakhir adalah pray, berdoa, ‘mudahmudahan pegawai saya membacanya,” Waluyo setengah bercanda.
Kesalahan lain adalah adanya intervensi dari beberapa pihak. “Nantinya seluruh BUMN itu free for doing leadership tanpa harus ada intervensi,” katanya.
Kalau seluruh BUMN bergerak ke arah corruption free menurut Waluyo sangat powerful karena ada 137 BUMN.
Waluyo memberikan batasan soal intervensi, bahwa sebuah korporasi akan maju dengan baik manakala dalam pengambilan keputusan tidak ada afiliasi yang meng-gantungi diri¬nya. “Saya melakukan ini for the best of the company,” ujar Waluyo mengumpamakan ujaran CEO BUMN.
Intervensi yang dimaksud tidak berkaitan dengan pihak penginter¬vensi dalam kapasitas pemegang saham. “Intervensi itu adalah intervensi yang sifatnya BOD tidak independen karena ada keterikatan power yang lain,” jelas Waluyo.
Apa kaitan satu sama lain antara korupsi, dilema etika, etika bisnis, dan Good Corporate Governance (GCG)?

Korupsi itu busuk; palsu; suap. Penyuapan; pemalsuan. Ini kalau menurut Kamus Bahasa Indonesia (1991). Kalau Kamus Hukum (2002) menyebutkan pengertian korpusi itu sebagai buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi.
Diartikan juga di Kamus Hukum itu bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Boleh cari definisi korupsi di The Lexion Webster Dictionary (1978). Di situ ada pengertian kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian.
Kalau Indonesia belakangan dikenal sebagai negara korup terkemuka di Asia, selain Filipina. Istilah korupsi itu berasal dari kata corruptio atau corruptus. Tentu bukan bahasa Indonesia atau bahasa Filipina. Atau bahasa Hongkong dan Singapura yang terkenal sarang korupsi sektor swasta. Corruptio adalah bahasa Latin yang berasal dari kata corrumpere, terakhir ini kata Latin yang lebih tua.
Bahasa Eropa ketiban tetesan bahasa tersebut. Lahirlan kata corruption, corrupt di Inggris; corruption (Perancis); corruptie, korruptie (Be-landa). Dari bahasa Belanda inilah konon kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.
Dalam bahasa hukum kita, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (UU No. 20 Tahun 2001).
Banyak item-item yang termasuk tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Tetapi agar tidak bingung mengategorikannya, maka agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah:
(1) secara melawan hukum;
(2) memperkaya diri sendiri/orang lain;
(3) “dapat” merugikan keuangan/perekonomian negara.
Korupsi menurut buku kecil yang ditertibkan KPK Mengenali & Memberantas Korupsi sebenarnya tidak beda jauh dengan pencurian dan penggelapan. Hanya saja unsur-unsur pembentuknya lebih lengkap.
Kalau diumpamakan suatu wilayah, korupsi adalah wilayah hitam, yaitu wilayah yang secara etika jelas-jelas tidak diterima. Berhadapan dengan wilayah hitam adalah wilayah putih, yaitu wilayah yang secara etika dapat diterima.
Nah, di antara wilayah hitam dan putih itu ada wilayah abu-abu. Di situlah dilema etika berada. Korupsi, jelas tidak ada dilemanya, lha wong sudah jelas-jelas berstatus haram. Hukumnya jelas dan gampang dibedakan. Perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.
Tingkatan korupsi itu lebih tinggi daripada sekadar tindakan mencuri dan penggelapan. Kalau pencurian -- mengutip buku KPK yang mengutip Pasal 362 KUHP -- adalah perbuatan secara melawan hukum mengambil barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain dengan maksud memiliki. Barang/hak yang berhasil dimiliki bisa diartikan sebagai keuntungan pelaku.
Sedangkan penggelapan -- masih menurut buku KPK (dikutip dari Pasal 372 KUHP) -- adalah pencurian barang/hak yang dipercaya-kan atau berada dalam kekuasaan si pelaku. Ada penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan oleh si pelaku.
Lalu wilayah abu-abu?
Kalau dalam suatu operasi perusahaan ditemukan praktek-praktek yang ‘rasa-rasanya’ tidak diterima etika, tetapi ‘kok menentukan kelancaran operasi perusahaan,’ itulah dilema etika.
Kalau tetap dilakukan ya itu sudah pelanggaran, seperti suap, uang pelicin, pungli, dan lain-lain. Tapi kalau tidak dilakukan operasi perusahaan bisa-bisa terganggu serius.
Itu daerah abu-abu!

Itulah sebab setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya.
Lho, kok, bisa begitu, ya?
Bukankah orang berdagang terbiasa melakukan kecurangan? Mengurangi timbangan atau takaran? Menipu dan memperdaya pembeli? Yang penting untung!
Terakhir ini di dunia bisnis ada pergeseran dari nilai intelektual ke emosional dan kemudian ke spiritual. Konsep GCG mencerminkan sekali praktek bisnis yang dilandasi sisi moral dan etika.
Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary disebutkan, bahwa etika didefinisikan sebagai:
1. the discipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation.
2. (a). set of moral principles and values, (b) theory or system of moral values, (c) the principles of conduct governing an individual or a group.
Intinya etika adalah prinsip-prinsip moral dan nilai, pembeda yang baik dan buruk.
Nah, kalau begitu mengapa orang melupakan prinsip bisnis yang dijalankan tokoh dunia yang namanya Muhammad bin Abdillah, sang Nabiyullah dan Rasulullah terakhir?
Yang diajarkan Muhammad Saw dalam berbisnis adalah nilai-nilai universal. (1) Siddiq (benar, dapat dipercaya); (2) Amanah (menepati janji); (3) Fathonah (memiliki wawasan luas); (4) Tabligh (berkomunikasi).
Seorang non muslim seperti Hermawan Kertajaya, yang kita kenal sebagai pakar marketing dari MarkPlus. “Bila ingin mempelajari prinsip dan etika bisnis, pelajarilah dari agama Islam dan juga Konfusius,” tuturnya seperti dikutip oleh sebuah situs.
Konfusius?
Sebagai seorang filsuf yang hidup sekitar tahun 500 SM, lanjut Hermawan Kertajaya yang juga keturunan Tionghoa ini, Konfusius adalah yang pertama yang berhasil menggabungkan berbagai keyakinan dari masyarakat Cina menjadi satu perangkat nilai luhur yang berdasarkan pada moralitas pribadi.
Konfusius mengajarkan moral, perilaku baik, kemanusiaan, terus belajar, dan menjaga keseimbangan.
Aa Gym dan Hermawan Kertajaya dalam bukunya Berbisnis dengan Hati menyebutkan definisi untung dalam bisnis adalah kalau bisnis menambah silaturahmi, menambah saudara. Juga kalau bisnis mendatangkan untung untuk orang banyak. Itulah untung.
KPK menjelaskan, nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Ada visi-misi dulu, baru kita bicara nilai-nilai perusahan.
Nilai-nilai universal yang dimaksud adalah honesty (kejujuran), respect on the rule of law (taat asas/peraturan), trust (kepercayaan, dapat dipercaya), common sense (kepatutan dan ke-pantasan), serta menghargai HAM.
Etika bisnis sendiri merupakan bagian in-tegral dari nilai-nilai Good Corporate Governance (GCG). Nilai-nilai GCG itu hanya lima kaidah:
(1) Transparansi (Transparency);
(2) Akuntabilitas (Accountability);
(3) Responsibilitas (Responsibility);
(4) Independensi (Independency);
(5) Kesetaraan dan kewajaran (Fairness).
Kita sudah membahas soal pengertian GCG ini dalam segmen Mukadimah
Apa, sih, gunanya GCG?
Amerika Serikat harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929. Bangkrutnya Enron, perusahaan besar di AS, belakangan ini juga akibat pelanggaran terhadap etika bisnis, yang notabene melanggar kaidah GCG.
Secara akademis orang menyebutkan kebutuhan GCG timbul berkaitan dengan prinsip agency theory, yaitu untuk menghindari konflik antara principal dan agentnya.
Hal ini bisa dipahami, kalau melihat pengertian istilah GCG itu sendiri, yang merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan.
KPK bilang dalam situsnya, bahwa GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan dan perundang-undangan.
Masih menurut KPK, penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling ber-hubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator; dunia usaha sebagai pelaku pasar; dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.
Dunia usaha berperan menerapkan GCG ini dengan antara lain menerapkan etika bisnis secara konsisten sehingga dapat terwujud iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan.
Prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah GCG adalah etika bisnis itu sendiri. Jelas, korupsi sebagai tindakan melawan hukum yang merugikan perusahaan atau bahkan negara bertentangan sekali dengan kaidah-kaidah GCG.
Pertamina Clean adalah episode kesekian dari upaya Pertamina untuk menerapkan etika bisnis dalam keseharian operasinya. Beban sejarah masa lalu yang pahit yang pernah memberati pundak Pertamina terus dikubur dengan upaya membersihkan diri dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan konflik kepentingan. •••

Sumber:

Sabtu, 10 Oktober 2009

Jasa Konsultasi Skripsi: Disyukuri atau Dikutuk?

Tugas Individu

Karena sudah sampai pada titik yang cukup mengkhawatirkan. Menteri Pendidikan Nasional akhirnya memutuskan untuk mengumumkan puluhan institusi pendidikan atau program (PTS) yang dianggap ilegal. Jasa konsultasi skripsi tumbuh bak jamur. Semula jasa semacam itu diberikan secara perseorangan dan diam-diam antara teman. Kemudian meningkat menjadi jasa menginterpretasi dan menuliskan hasil. Lama kelamaan, jasa meningkat sampai memilihkan judul, menyediakan data, bahkan sampai membuatkan secara penuh suatu skripsi. Usaha ini tentunya mempunyai modal dasar yaitu kumpulan skripsi yang mencakupi berbagai bidang studi dan topik, jurnal (kopian atau asli), dan basis data. Jadi keterampilan mengumpulkan data telah diambil alih oleh jasa ini.
Bisnis ini semakin menggiurkan karena banyak pejabat, bekas pejabat, eksekutif, atau pebisnis bahkan selebrities yang mengambil program S3 yang sebenarnya tidak punya waktu atau motivasi belajar untuk merenung atau tidak mempunyai kemampuan menulis sehingga tidak ada cara lain kecuali memanfaatkan jasa semacam itu. Beberapa pemberi jasa memberi garansi "DIJAMIN SAMPAI LULUS." Seorang pengamat pendidikan menyatakan bahwa fenomena ini merupakan tragedi pendidikan nasional kalau tidak dicermati dan dikendalikan. Dia khawatir, jangan-jangan nanti akan timbul jasa pembuatan pekerjaan rumah (atau tugas sekolah lain) yang semula ditangani kakak atau ibu. Memang menyedihkan. Ini potret buruk pendidikan dan mental bangsa.
Seorang pengguna jasa yang telah lulus sebagai seorang sarjana mengakui: "Saya memang menggunakan jasa konsultan karena mudah ditemui dan dihubungi. Konsultasinya juga enak dan lebih baik dari dosen pembimbing saya. Dosen saya sering tidak membaca proposal saya dan sulit ditemui. Dosen juga tidak membimbing dengan baik dan jelas sehingga saya bingung apa yang harus saya kerjakan dan dimana kekurangan skripsi saya. Setelah saya konsultasi dengan jasa pembimbingan, saya mendapat pengarahan yang baik bahkan setengahnya dibuatkan saran-saran perbaikan. Saya juga belajar banyak dari pemberi jasa. Setelah saya ajukan ke dosen pembimbing, ternyata dosen saya terkesan dan meng-ACC skripsi saya."
Para dosen yang diminta tanggapan mengenai hal ini hanya mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai cara untuk mengecek apakah skripsi merupakan hasil pekerjaan menyontek atau hasil pembimbingan komersial. Beberapa dosen juga cukup jengkel untuk membimbing karena proposal mahasiswa tidak dapat dibaca. Bahasa mahasiswa sangat amburadul sehingga maksud penulisan tidak dapat ditangkap. Seorang dosen menyatakan: "Saya sendiri tidak setuju adanya skripsi. Skripsi hanya membebani dosen. Yang realistik saja, saya tidak mungkin membimbing 10-15 mahasiswa dalam satu semester dan kalau tidak selesai dalam satu semester pekerjaan makin menumpuk. Karena dipaksakan, akhirnya apapun yang diajukan mahasiswa saya setuju saja."
Pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atau yang berwenang sekalipun masih bergeming mengenai hal ini. Mungkin fenomena ini masih dianggap wajar sehingga mereka tidak perlu gegabah menangani masalah ini.

Diskusi

a.
Siapa sajakah pihak yang berkepentingan atau stakeholders (pemegang pancang) dalam kasus di atas (baik eksplisit maupun implisit)?
jawab: Eksplisit : Dosen dan Direktorat Jenderal Pendidikan.
Implisit : Pihak jasa konsultasi dan para penggunanya (Mahasiswa, Pengusaha).

b.
Evaluasilah argumen tiap pihak yang terlibat dari prinsip atau teori hak (right), keadilan (justice), utilitarianisma (utilitarianism), egoisma (egoism), dan kelukaan (harm)!
Jawab:
Teori Hak (Right) : Merupakan pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku.
Dalam kasus diatas dapat dikatakan bahwa penggunaan jasa konsultasi skripsi merupakan hak setiap individu karena jasa konsultan tersebut mudah ditemui dan mudah dihubungi serta dapat memberikan pengarahan bahkan dibuatkan saran-saran perbaikan.

Teori Keadilan (Justice) : Persamaan terhadap semua manusia kesetaraan keadilan.
Dalam kasus diatas adalah adanya ketidak adilan bagi mahasiswa lain (tidak menggunakan jasa konsultasi skripsi) yang berjuang dan berusaha membuat skripsnya dari pembuatan proposal sampai kepada penyelesaian akhir, sedangkan mahasiswa yang menggunakan jasa konsultasi skripsi dapat membuatkan skripsi mereka sampai selesai.

Teori Utilitarianisma (Utilitarianism): Semakin tinggi kegunaannya maka semakin tinggi nilainya. Dalam kasus diatas segala sesuatu yang sifatnya praktis, bermanfaat, dan berguna akan cepat laku begitu pula yang dialami jasa penggunaan skripsi serta dapat dikatakan buruk atau tidak baik karena tidak memberikan manfaat sebab pembuatan jasa skripsi tersebut memberikan proses pembuatan dari awal hingga selesai.

Teori Egoisma (Egoism): Perilaku yang dapat diterima tergantung pada konsekuensinya memaksimalkan kepentingan terkait dengan akibat yang diterima.
Dalam kasus diatas, banyaknya jasa konsultasi skripsi dan pembuatan skripsi dari awal hingga selesai merupakan tindakan egois jasa konsultasi skripsi tersebut yang hanya mementingkan keuntungan dari pada menurunnya kualitas pendidikan di negara ini, perilaku banyak uang yang membuat orang akan berfikir dengan memberikan uang maka semuanya akan menjadi beres.

Teori Kelakuan (Harm): Penyimpangan yang mengakibatkan buruknya perilaku.
Dalam kasus diatas, dengan membayar sejumlah uang kepada pengguna jasa konsultasi maka jasa konsultasi tersebut akan membantu dan melayani pembuatan skripsi dari awal hingga selesainya skripsi tersebut. Hal inilah yang melukai dunia pendidikan di negara ini, khususnya dunia perguruan tinggi yang seharusnya menghasilkan mahasiswa/ i yang kreatif tetapi dengan adanya jasa konsultasi tersebut menghasilkan lulusan yang tidak berkualitas.

c.
Setujukah anda dengan pernyataan tiap pihak dalam kasus? Dapatkah tiap pihak dikatakan bersikap tidak etis?
Jawab: Setuju, karena setiap orang berhak memberikan pernyataan yang menurut mereka benar atau yang mereka alami sendiri.
Tiap pihak dapat dikatakan bersikap tidak etis apabila kegiatan jasa tersebut akan berakibat kepada kurangnya intelektual mahasiswa yang akan berujung kepada menurunnya kualitas sumber daya manusia yang berasal dari lulusan perguruan tinggi.

d.
Masalah etis apa saja yang dapat ditimbulkan oleh adanya jasa konsultasi skripsi?
Jawab: Masalah yang ditimbulkan adalah merupakan tragedi pendidikan nasional, dimana terjadi kemunduran sikap dan mental seseorang yang bisa merubah orang menjadi tidak mandiri dan tidak disiplin sehingga berakibat kepada kurangnya kualitas pendidikan yang dimiliki seseorang.

e.
Haruskah jasa pembimbingan/ konsultasi skripsi dilarang? Jelaskan argumen anda dari sudut pandang etika!
Jawab: Tidak harus dilarang, karena dapat membantu mahasiswa yang kesulitan dalam mengolah skripsi selain dengan dosen pembimbingnya. Selama jasa tersebut hanya sebatas bantuan bimbingan arahan skripsi dan bukan untuk membuatkannya.

f.
Bagaimana pandangan anda terhadap prinsip etika bisnis "Wahat is legal is ethical" (asal tidak melanggar hukum ya etis)?
Jawab: Saya setuju dengan pendapat what is legal is ethical, selama hal itu tidak melanggar aturan hukum yang ada maka haltersebut dapat diteruskan keberadaannya.
Dalam kasus ini terhadap jasa konsultasi skripsi dapat berguna membantu mahasiswa yang mengerjakan skripsinya dengan memberikan ide-ide, arahan dan bimbingan serta lebih banyak waktu dan pertemuan daripada bimbingan dengan dosen pembimbing yang terbatas dengan waktu pertemuan.












ETIKA AKUNTANSI, REALITA DAN IDEALISME DALAM PENEGAKANNYA by : D. A. Hime a.k.a Dwi Andi Rohmatika

Tugas Kelompok

BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan bisnis adalah memperoleh laba melalui aktivitas kewirausahaan. Tapi perilaku pebisnis lazimnya untuk mencapai target keuntungan itu beda antar sesama pebisnis. Para pelaku bisnis memiliki perbedaan perspektif dalam memahami etika bisnis. Ada yang melihat etika hanya ihwal baik dan buruk dalam bisnis. Namun ada juga pebisnis lebih memahami “etika” bisnis sebagai ketaatan pada undangundang dan peraturan serta mekanisme pasar.

Sebuah profesi adalah pilihan setiap orang. Dalam sebuah profesi, kita tidak hanya berhubungan dengan rekan kerja dan kolega, tetapi juga klien. Sebelum memasuki dunia profesi, seorang manusia terikat dalam norma yang berlaku di masyarakat. Ketika kita sudah masuk dunia tersebut, kita juga akan terikat dengan norma kelompok yang berlaku pada sebuah profesi tertentu. Hal ini sering disebut dengan kode etik profesi. Tulisan ini akan membahas kode etik tersebut dan berbagai kedala yang ada dalam menegakkannya, terutama dalam profesi akuntan.
Kode etik sangat erat hubungannya dengan etika dan moralitas dan dasar pembenaran semua perilaku dari kacamata etika adalah hati nurani. Dalam sebuah komunitas tertentu, kode etik digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sesuatu agar tidak merugikan orang lain, terutama masyarakat. Perlu kita pahami bahwa tidak semua peraturan dalam kode etik profesi tercantum dalam undang – undang suatu negara sehingga kekuatan mengikatnya pun tidak terlalu memaksa. Disinyalir ada kecenderungan untuk melakukan suatu pelanggaran dalam menjalankan suatu profesi karena tekanan kekuasaan dari atasan, keinginan untuk mengeruk keuntungan sendiri, dan konflik kepentingan.

BAB II

ISI

Akuntansi adalah sebuah bagian penting dalam perusahaan yang mengolah data keuangan. Bagian ini bisa disebut sebagai jantung perusahaan karena baik tidaknya perkembangan sebuah perusahaan ditentukan dari output data akuntansi perusahaan. Oleh karena itu banyak pihak yang terkadang ingin memanfaatkannya untuk melakukan hal yang tidak baik demi kepentingan diri sendiri. Tidak jarang perbuatan ini akan menimbulkan kerugian pada pemegang kepentingan lainnya. Misalnya seorang direktur yang ingin mengakui pendapatan yang baru dijanjikan tapi belum diterima sama sekali agar pendapatan dari perusahaan naik, seorang manajer yang ingin menunda pencatatan beban operasi agar keuntungan bertambah, dan para pemegang saham yang sepakat untuk mengalihkan sebagian pendapatan perusahaan ke rekening pribadi mereka untuk menghindari pembayaran pajak yang terlalu tinggi kepada pemerintah.

Pada berbagai kasus, seorang akuntan sering menjadi korban pemaksaan untuk membuat laporan akuntansi palsu atau mengubah laporan tersebut. Terbukti dengan maraknya tindak kecurangan akhir – akhir ini yang muncul ke permukaan seperti kasus Asian Agri, Enron, dan masih banyak lagi yang menunjukkan dengan jelas suatu pelanggaran kode etik profesi akuntansi. Hal ini menggugah hati kita untuk memahami bagaimana sesungguhnya realita yang dihadapi seorang akuntan. Banyak yang berkomentar pesimistis atau bahkan memberi jargon “jujur ajur” di profesi akuntan. Jika kita ingin bertahan, maka mau tidak mau kita harus mengikuti arus yang ada di sekitar kita. “Kalau ingin bertahan di dunianya tukang tipu, kau juga harus jadi penipu,” kira – kira seperti itulah komentar orang – orang yang sudah mencicipi nikmatnya dunia kerja seorang akuntan. Mereka yang antipati bahkan berkomentar lebih tajam seperti “Kau itu masih mahasiswa. Masih bisa mengusung – usung idealisme karena belum pernah mencecap pahit dunia kerja di luar sana. Bisa saja kau berdemo menentang keras korupsi. Tapi tunggu saja ketika kau sudah jadi pejabat, mungkin kau sendiri yang akan korupsi.” Kita bisa saja menolak pernyataan semacam ini. Tapi kita juga perlu melihat bahwa mereka yang pesimis terhadap penegakan kode etik akuntansi mempunyai dasar yang cukup kuat. Berdasarkan sebuah penelitian terhadap beberapa orang akuntan, 20% tidak pernah melakukan kecurangan apa pun situasinya, 60% berpendapat tindakan mereka bergantung pada situasi dan kondisi yang ada, dan 20% lainnya mengatakan pernah melakukan kecurangan seakan – akan itu sudah menjadi kebisaaan.

Hal inilah yang membuat masyarakat bertanya – tanya, apakah sebegitu sulitnya mempertahankan idealisme di tengah realita yang ada saat ini? Apakah kode etik hanya akan menjadi isi sebuah kitab usang yang teronggok penuh debu di sudut perpustakaan? Ahli etika akuntansi Duska pernah mengatakan kita telah bersikap etis jika kita yakin apa yang kita lakukan benar dan kita bangga telah melakukannya. Saya rasa satu hal ini perlu dipegang teguh ketika kita mengambil sikap. Selain itu, lingkungan yang tidak melakukan hal yang benar tidak akan menghalangi kita untuk melakukan hal – hal benar yang bisa dilakukan.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Tujuan bisnis tentu meraup laba. Tapi perilaku (etika) pebisnis lazimnya dalam mencapai target keuntungan itu berbeda antar sesama pebisnis. Para pelaku bisnis memiliki perbedaan perspektif dalam memahami etika bisnis. Ada yang melihat etika hanya ihwal baik atau buruk dalam bisnis. Namun ada juga pebisnis lebih memahami etika bisnis sebagai ketaatan pada undang-undang dan peraturan serta mekanisme pasar. Sebaliknya ada pelaku bisnis yang lebih mengedepankan “pokoknya untung” dengan segala cara: mengabaikan etika bisnis, tanpa kejujuran, tanpa rasa malu (guilty complex) , tanpa atau sedikit modal uang (“perusahaan Ali- Baba”) dan tanpa kerja keras tapi menghasilkan uang banyak. Di masa orde baru pebisnis semacam ini lazim melakukan bisnis dengan memanfaatkan fasilitas atau bisnis koneksi. Bisnis fasilitas akan menafikan persaingan usaha yang sehat, bahkan bertentangan dengan persaingan usaha itu sndiri.

Seorang akuntan sering menjadi korban pemaksaan untuk membuat laporan akuntansi palsu atau mengubah laporan tersebut. Karena akuntansi adalah sebuah bagian penting dalam perusahaan yang mengolah data keuangan. Bagian ini bisa disebut sebagai jantung perusahaan karena baik tidaknya perkembangan sebuah perusahaan ditentukan dari output data akuntansi perusahaan.

Mengenai praktek bisnis yang dikembangkan dengan tidak didasarkan etika diharapkan dapat memberikan pengetahuan bahwa etika adalah kunci untuk membangun perekonomian yang sehat dan kuat diatas kekuatan sendiri, sehingga dalam jangka panjang akan menciptakan stabilitas ekonomi. Perekonomian yang stabil dan tumbuh yang didasarkan pada kekuatan yang ril dalam memenangkan persaingan, adalah suatu proses pelatihan bagi para “atlit” ekonomi, sehingga pelaku bisnis (diistilahkan dengan atlit) dapat berlari kencang dan memenangkan pertandingan (yaitu persaingan) karena melakukan pelatihan, bukan karena melakukan dophing. Pelatihan itu hanya akan memberikan kemajuan jika dilakukan dengan cara, yaitu penggunaan etika, yang benar.

SARAN

Kode etik masih sangat diperlukan dan dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan. Dengan adanya kode etik maka dapat menghasilkan reputasi yang baik di bidang etika yang merupakan aset penting bagi perusahaan, jadi jangan menyalahgunakan kode etik yang sudah ditetapkan.