Kamis, 17 September 2009

Dari Workshop Etika Bisnis:Benang Kusut permasalahan Korupsi Terurai

MEDIA PERTAMINA

Edition No. 4/XLIII , 22 Januari 2007
Berita

Dari Workshop Etika Bisnis:Benang Kusut permasalahan Korupsi Terurai

Pertamina ingin bersih (clean). Ternyata masih banyak kendala internal dan eksternal yang menghambat keinginan tersebut. ?Nilai-nilainya sudah cukup dimiliki Pertamina, tinggal membuat tools-nya dan melakukan monitoring terus-menerus,? kata Deputi Bidang Pencegahan ? KPK Waluyo pada Workshop Etika Bisnis di Lantai 2 Gedung Utama Kantor Pusat Jakarta, Jumat (5/1).
Workshop Etika Bisnis ini merupakan tindaklanjut dari pertemuan yang dilakukan Direksi dengan Deputi Bidang Pencegahan ? KPK Waluyo pada 21 Desember 2006. Turut hadir dalam Workshop Etika Bisnis tersebut Direktur Pemasaran dan Niaga A.Faisal selaku Champion Transformasi Pertamina.

MENGURAI PERMASALAHAN KORUPSI
Dalam acara workshop yang diikuti oleh jajaran dari berbagai fungsi itu berhasil mengurai per-masalahan di balik upaya Pertamina untuk bersih.
Dari dialog interaktif antara Deputi Bidang Pencegahan-KPK Waluyo dengan peserta workshop muncul peta yang sesungguhnya. Misalnya diperoleh kesimpulan empiris upaya Pertamina untuk bersih menghadapi kendala serius dari pihak eksternal. Selain tentu kendala internal yang masih harus terus diatasi.
Permasalahan yang paling kentara adalah ethic dilemma, yaitu suatu kondisi yang menyulitkan pihak-pihak yang ingin bersih untuk bertindak bersih tapi proses pekerjaan menjadi terhambat. Atau proses pekerjaan lancar, tetapi harus tetap kotor.
Menyikapi berbagai dilema dalam melakukan pembersihan di tubuh Pertamina, Waluyo menyarankan agar Pertamina melakukan pembersihan di internal terlebih dahulu setelah itu baru ikut serta melakukan pembersihan di eksternal perusahaan. ?Kalau sekaligus memang sangat sulit,? cetusnya.
Hal tersebut diakui Direktur Pemasaran dan Niaga A. Faisal. Seluruh elemen Pertamina, menurutnya, belum mengetahui dengan baik, bagaimana beretika bisnis dengan benar. ?Apalagi kami ini masih hidup di negeri BBM, yang kadang-kadang masih susah. Kita mau jujur, di luar tidak jujur. Kalau kita tidak jujur, bisnis kita tidak jalan,? ungkapnya dengan jujur.
A. Faisal mencontohkan langkah benar Pertamina dalam bidding masih seringkali mendapatkan protes dan surat kaleng dari pihak-pihak tertentu. ?Padahal Pertamina melakukan bidding, sesuai dengan etika bisnis yang berlaku, yaitu dengan menggunakan system e-auction. Masih juga disalahkan dan dituduh yang tidak-tidak,? cetus A.Faisal.
Menurut A.Faisal Pertamina sudah 32 tahun dalam posisi monopoli. Menurutnya, monopoli itu membuat Pertamina ?bodoh?. ?Sebab dengan monopoli, Pertamina tidak akan pernah bisa berbisnis secara etis,? katanya.
Ia mencontohkan praktek-praktek pemanfaatan kondisi ketika Pertamina satu-satunya perusahaan minyak di Indonesia. Sehingga Pertamina tidak bisa menerapkan customer focus dan customer satisfaction.
A. Faisal menggambarkan setelah adanya perubahan UU Migas No. 8 tahun 1971 menjadi UU Migas No. 22 tahun 2001, yang tadinya cost + fee menjadi MOPS + alpha. Yang tadinya upahan sekarang disuruh mencari untung. Karena belum berpengalaman, menurut A.Faisal Pertamina kesulitan untuk menentukan dimana mencari keuntungan. ?Kalau di Singapura harga minyak sekian dan biaya pengangkutannya sekian, Pertamina mendapatkan 14,1, maka terserah Pertamina mau 14,1 itu untung semua apakah 14,1 itu rugi semua. Nah, untuk mengambil bagian dari 14,1 tadi kita harus beretika,? paparnya.
Namun demikian, Direktur Pemasaran dan Niaga A.Faisal menegaskan kembali sikap Pertamina untuk memenuhi apa yang diharapkan Presiden yaitu meninggalkan warisan yang baik kepada generasi yang akan datang. Salah satunya adalah corruption free.
Dalam kaitan ini A.Faisal mengingatkan seluruh pekerja, Pertamina tidak bisa lagi melakukan bisnis tanpa etika. ?Karena kalau hal itu masih dilakukan saya khawatir SPBU Pertamina akan lari keperusahaan lain,? tegasnya serius.
Akhirnya, Direktur Pemasaran dan Niaga A.Faisal mengatakan bahwa dengan melakukan workshop etika bisnis, kita akan tahu mana yang halal, haram, atau subhat (wilayah ?abu-abu? antara halal dan haram, red). ?Semoga cita-cita kita membawa Pertamina ke 4C ?Confident, Clean, Customer Focus, dan Competitiveness ? menjadi kenyatakan dalam bisnis kita yang beretika,? harap A.Faisal mengakhiri sambutannya.

TOOLS & MONITORING
Waluyo menekankan bahwa kasus korupsi itu terjadi pada perusahaan-perusahaan kaliber internasional dan high reputation. Beberapa perusahaan terkenal yang tergelincir skandal korupsi disebutkan Deputi Bidang Pencegahan ? KPK Waluyo. ?Apa yang bisa kita pelajari dari situ? Life is dynamic,? kata Waluyo.
Untuk itulah, tegas Waluyo, diperlukan tools dan instruments, yaitu bagaimana keadaan bersih sebuah perusahaan dapat terkontrol dengan baik. ?Direksi tidak bisa bekerja sendiri. Diharapkan horizontal control berjalan,? tegasnya.
Waluyo menyontohkan horizontal control adalah bagaimana sesama pekerja bisa saling mengingatkan setiap saat. Karena organisasi perusahaan itu orangnya banyak dan bersifat dinamis. ?Bukan hanya pekerjanya saja, stakeholder-nyapun banyak. Banyak kalangan eksternal yang bisa mempengaruhi dan memberi potensi korupsi,? ujar Waluyo.
Tapi menurutnya, konsidi tersebut merupakan tantangan yang membuat adrenalin kita lebih hidup.

MEMPERSEMPIT WILAYAH ?ABU-ABU?
Deputi Bidang Pencegahan ? KPK Waluyo mengakui bahwa pihaknya tidak memberikan hal-hal baru, tetapi menggali nilai-nilai dan code of conduct yang sudah dimiliki Pertamina.
Menurutnya, banyak hal dalam code of conduct Pertamina harus di kaji ulang. ?Salah satunya mengenai sejauh mana batasan dari etika bisnis itu sendiri,? ujarnya.
Dijelaskan Waluyo, kalau Pertamina masuk ke dalam wilayah abu-abu salah satu cara mengatasinya adalah dengan me-revice prosedur atau mungkin dibuat prosedur baru. ?Karena hal tersebut sangat berguna dalam membuat guide line, untuk melaksanakan perubahan prosedur dan melakukan langkah konkrit ke depan,? katanya.
Jadi dengan dipersempitnya wilayah abu-abu dalam pengambilan keputusan, menurut Waluyo, dapat mengubah persepsi pasar terhadap Pertamina. Sebab wilayah abu-abu secara etis tidak diterima oleh pasar.
Untuk melakukan pembenahan dalam hal korupsi, ditegaskan lagi oleh Waluyo, adalah perlunya seluruh jajaran manajemen serta pekerja untuk melak-sanakan empat prinsip dasar dalam sebuah perusahaan, yaitu adanya kejujuran yang dilakukan oleh seluruh lapisan pekerja; terdapat sumber daya manusia yang cakap dan andal dalam melakukan segala sesuatunya untuk kepentingan perusahaan; setiap pekerja tidak menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau golongan; dan dapat mengatakan tidak untuk melakukan suap, hadiah, dan hiburan.
Faktanya, kata Waluyo, korupsi terjadi bukan saja di tubuh Pertamina, tetapi terjadi juga pada perusahaan atau instansi yang berhubungan dengan Pertamina. ?Jadi hal itu terjadi pada faktor internal dan eksternal Pertamina,? ujar Waluyo.
Untuk faktor internal, kesalahan yang sering terjadi adalah tidak konsisten di dalam penerapan etika bisnis dan konsep good corporate governance sehingga derailment (keluar dari rel) terjadi. Menurut Waluyo hal tersebut disebabkan lemahnya komitmen dan kepemimpinan, serta tidak dipakainya instrumen yang tepat di dalam pengelolaan etika bisnis.

Sumber:
http://www.pertamina.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2824&Itemid=593